Kamis, 29 Maret 2012

JABARIYAH

Oleh: Falazuar Dika, Hidayatur Rofi’ah, Jadmiko Aji


BAB I
PENDAHULUAN

       Persoalan Iman (aqidah) merupakan aspek utama dalam ajaran Islam yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad. Pentingnnya masalah aqidah ini dalam ajaran Islam tampak jelas pada misi pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah. Pada periode Mekkah ini, persoalan aqidah memperoleh perhatian yang cukup kuat dibanding persoalan syari’at, sehingga tema sentral dari ayat-ayat al-Quran yang turun selama periode ini adalah ayat-ayat yang menyerukan kepada masalah keimanan.
Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar agama. Munculnya perbedaan antara umat Islam.
Perbedaan teologis di kalangan umat Islam sejak awal memang dapat mengemuka dalam bentuk praktis maupun teoritis. Secara teoritis, perbedaan itu demikian tampak melalui perdebatan aliran-aliran kalam yang muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi perbedaan yang ada umumnya masih sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan keesaan Allah, keimanan kepada para rasul, para malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran nabi yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkannya. Perbedaan itu kemudian memunculkan berbagai macam aliran, yaitu Mu'tazilah, Syiah, Khawarij, Jabariyah dan Qadariyah serta aliran-aliran lainnya.
            Postingan ini akan mencoba menjelaskan secara singkat dan umum tentang aliran Jabariyah.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    ASAL USUL PERTUMBUHAN JABARIYAH
Kata Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Di dalam Al-Munjid, dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Dalam bahasa Inggris, Jabariyah disebut fatalisme, yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.
Faham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shufwan dari Khurasan. Dalam perkembangan selanjutnya faham al-jabar juga dikembangkan oleh tokoh lainnya Al-Husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja’d bin Dirrar. Mengenai kemunculan faham al-jabar ini, para ahli sejarah pemikiran mengkajinya melalui pendekatan geokultural bangsa Arab. Di antara ahli yang dimaksud adalah Ahmad Amin. Ia menggambarkan bahwa kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir Sahara memberikan pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka. Ketergantungan mereka kepada alam Sahara yang ganas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam.
Lebih lanjut, Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian, masyarakat Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginannya sendiri. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Akhirnya, mereka banyak bergantung pada kehendak alam. Hal ini membawa mereka kepada sikap fatalism.
Terlepas dari perbedaan pendapat tentang awal lahirnya aliran ini, dalam Alquran sendiri banyak terdapat ayat-ayat yang menunjukkan tentang latar belakang lahirnya paham Jabariyah, diantaranya:
 وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُون
Artinya: “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (Q.S. Ash-Shafat: 96)
وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَـكِنَّ اللّهَ رَمَى     
Artinya: “Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.” (Q.S. Al-Anfal: 17 )
وَمَا تَشَاؤُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ 
Artinya: “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah” (QS al-Insan: 30)

B.     PARA PEMUKA JABARIYAH DAN DOKTRIN-DOKTRINNYA
Menurut Asy-Syahratsani, Jabariyah dapat dikelompokan menjadi dua bagian, kelompok ekstrim dan moderat. Di antara totoh-tokoh Jabariyah ekstrim ialah sebagai berikut:
1.   Jahm bin Shofwan
Pendapat Jahm yang berkaitan dengan persoalan teologi adalah sebagai berikut:
a.         Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
b.         Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
c.         Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan konsep iman yang diajukan kaum Murji’ah.
d.        Kalam Tuhan adalah makhluq. Allah maha suci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat. Begitupula Tuhan tidak dapat dilihat dengan indera mata di akhirat kelak.
e.         Dengan demikian beberapa hal, pendapat Jahm hampir sama dengan Murji’ah, Mu’tazilah, dan As-Ariah. Itulah sebabnya para pengkritik dan sejarawan menyebutnya dengan Al-Mu’tazili, Al-Murji’i dan Al-Asy’ari.
2.      Ja’d bin dirham
Doktrin pokok Ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm. Al-Ghuraby Menjelaskannya sebagai berikut :
a.         Al-Quran itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatkan kepada Allah.
b.        Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat, dan mendengar.
c.         Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.

Yang termasuk tokoh Jabariyah Moderat adalah sebagai berikut:
3.      An-Najjar
Di antara pendapat-pendapatnya adalah:
a.         Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab dalam teori Al-Asy’ari. Dengan demikian, manusia dalam pandangan An-Najar tidak lagi seperti wayang yang gerakannya tergantung pada dalang, sebab tenaga yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
b.         Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.
4.      Adh-Dhirar
Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan An-Najjar, yakni bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakan dalang. Manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya. Secara tegas, Dirrar mengatakan bahwa satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Mengenai ru’yat Tuhan di akhirat, Dirrar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui indera keenam. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima setelah Nabi adalah ijtihad. Hadis ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul, Rosihon. 2001. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.
Rochimah, Rachman, dkk. 2011. Ilmu Kalam. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press.

Rabu, 28 Maret 2012

METODOLOGI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM KELUARGA

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Agama merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Agama dapat menjadi status sekaligus pegangan hidup bagi pemeluknya. Sedangkan Pendidikan merupakan sebagai pembina dan pengembang kepribadian manusia. Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan, namun dewasa ini hampir semua orang menganggap bahwa pendidikan menjadi kewajiban yang harus dituntut.
Pendidikan Agama Islam memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan serta pengembangan pribadi manusia yang luhur. Karena selain sebagai petunjuk agar hidup manusia lebih terarah, Pendidikan Agama Islam juga sebagai pengatur berdasarkan hukum-hukum yang ada di dalam islam itu sendiri seperti halal-haram, haq-bathil, baik-buruk, dan lain-lain, sehingga segala tingkah laku manusia bisa teratur dengan baik dan benar. Melalui Pendidikan Agama Islam manusia juga dapat meningkatkan derajatnya, makin berilmu seseorang, maka seseorang tersebut akan semakin dipandang baik oleh orang sekitarnya.
Pendidikan yang pertama kali didapatkan oleh anak yaitu pendidikan dari keluarganya. Baik-buruknya perilaku anak pasti dipengaruhi oleh pendidikan yang diberikan keluarganya. Pendidikan agama merupakan pelajaran penting yang harus diberikan orang tua kepada anak, mulai dari mengenalkan hingga mengamalkan ajarannya. Oleh karena itu orang tua harus menguasai apa yang akan diajarkan kepada anak, supaya orang tua dapat mendidik anak dengan baik dan benar. Makalah ini akan membahas tentang "Metodologi Pendidikan Agama Islam yang dapat diterapkan dalam lingkungan Keluarga".



B.     Tujuan Pembahasan
  1. Memahami arti Pendidikan Agama Islam,
  2. Memahami arti keluarga, serta
  3. Mengetahui metode Pendidikan Agama Islam dalam keluarga.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pendidikan Agama Islam
Ada bermacam-macam pendidikan yang telah kita kenal secara umum, terutama yang diajarkan di bangku sekolah, seperti Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan (PENJASORKES), Pendidikan Lingkungan Hidup, dan lain-lain.
Pandangan klasik tentang pendidikan, pada umumnya dikatakan sebagai pranata yang dapat menjalankan tiga fungsi sekaligus; pertama, menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat di masa yang akan datang. Kedua, mentransfer (memindahkan) pengetahuan, sesuai peranan yang diharapkan. Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup (survive) masyarakat dan peradaban.[1]
Pembahasan berikut ini akan menjelaskan tentang Pendidikan Agama Islam, khususnya tentang Pengertian dan tujuannya.
1.      Pengertian Pendidikan Agama Islam
Beberapa pendapat tokoh tentang pengertian pendidikan adalah sebagai berikut:
a.       Mortimer J. Adler. Menurutnya, pendidikan adalah proses dengan mana semua kemampuan manusia (bakat dan kemampuan yang diperoleh) yang dapat dipengaruhi oleh pembiasaan, disempurnakan melalui kebiasaan-kebiasaan yang baik melalui sarana yang secara artistik dibuat dan dipakai oleh siapapun untuk membantu orang lain dan dirinya sendiri mencapai tujuan yang ditetapkan yaitu kebiasaan yang baik.[2]
b.      Herman H. Horne berpendapat bahwa pendidikan harus dipandang sebagai suatu proses penyesuaian diri manusia secara timbal balik dengan alam sekitar, dengan sesama manusia, dan dengan tabiat tertinggi kosmos.[3]
Berdasarkan teori-teori di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu proses memperoleh dan menyempurnakan kemampuan untuk diterapkan dalam proses timbal balik terhadap lingkungan sekitar.
Mengingat pembahasan lebih difokuskan pada pendidikan Islam, maka berikutnya akan dicantumkan beberapa teori tentang pendidikan Islam:
a.       Pendidikan Islam menurut Prof. Dr. Omar Muhammad Al-Toumy al Syaebani, diartikan sebagai usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan dalam alam sekitarnya melalui proses kependidikan.[4]
b.      Hasil rumusan Seminar Pendidikan Islam se Indonesia tahun 1960, memberikan pengertian Pendidikan Islam: “sebagai bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.”[5]
Berdasarkan dua pendapat tentang pengertian pendidikan Islam di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah proses mengarahkan dan membimbing tingkah laku manusia menurut ajaran Islam yang mengandung tujuan tertentu.
Suatu Proses merupakan sebuah awal yang akan diakhiri dengan tujuan akhir yang akan dicapai dari proses tersebut. Adapun tujuan pendidikan Islam akan dibahas dalam sub bab berikutnya.

2.      Tujuan Pendidikan Agama Islam
Tujuan merupakan sesuatu yang akan dicapai atau diperoleh dengan melalui proses yang telah dijalani. Dalam suatu tujuan dari pendidikan umumnya adalah seseorang dapat mengetahui dan memahami sehingga ia dapat menerapkan terhadap diri sendiri maupun orang lain serta lingkungan sekitarnya. Akan disajikan beberapa teori mengenai tujuan pendidikan Islam sebagai berikut:
a.       DR. Mohd. Fadhil Al-Djamaly, menyatakan kesimpuulan dari studinya bahwa “sasaran pendidikan menurut Al-Quran ialah membina pengetahuan/kesadaran manusia atas dirinya, dan atas system kemasyarakatan Islami serta atas sikap dan rasa tanggung jawab sosial. Juga memberikan kesadaran manusia terhadap alam sekitar dan ciptaan Allah serta mengembangkan ciptaanNya bagi kebaikan umat manusia.[6]
b.      Rumusan yang lain adalah hasil keputusan seminar Pendidikan Islam se-Indonesia  tanggal 7-11 Mei 1960, di Cipayung, Bogor yang merumuskan tujuan pendidikan Islam sebagai berikut: “Tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan takwa dan akhlak serta menegakkan kebenaran dalam rangka membentuk manusia yang berpribadi dan berbudi luhur menurut ajaran Islam.”[7]
Berdasarkan teori-teori di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah membina dan menanamkan kesadaran pada diri manusia terhadap akhlak yang luhur menurut ajaran agama Islam.
Tujuan dari pendidikan Islam pada hakikatnya lebih mengarah pada realisasi dalam bentuk pengamalan, baik terhadap orang lain maupun lingkungan sekitar.

B.     Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan yang paling pertama ditemui oleh manusia pada umumnya. Setelah seorang anak dilahirkan ke dunia, ia memperoleh sentuhan kasih sayang yang pertama kali yaitu dari keluarganya. Keluarga pulalah yang melindungi dan merawatnya hingga ia tumbuh dewasa.
Barangkali sulit untuk mengabaikan peran keluarga dalam pendidikan. Anak-anak sejak masa bayi hingga usia sekolah memiliki lingkungan tunggal, yaitu  keluarga.[8]
1.      Pengertian Keluarga
Keluarga dapat diartikan sebagai unit masyarakat terkecil. Sebuah keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak dan masing-masing mempunyai peran yang penting, terutama ayah dan ibu atau keduanya disebut sebagai orang tua. Allah mengamanatkan anak pada orang tua untuk bertanggung jawab merawat, menjaga, serta mendidiknya dengan baik dan benar.
Menjadi pengemban amanat bukanlah hal yang mudah. Diperlukan adanya pengorbanan dan perjuangan serta usaha yang besar dalam menjaga keutuhan dan keharmonisan dalam keluarga.
Allah memerintahkan pada kita untuk menjaga anggota keluarga kita dengan berfirman dalam Al-Quran:
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (At-Tahrim: 6).
Keluarga merupakan pemberi pendidikan yang paling pertama dan utama pada seorang anak sebelum ia mendapatkan pendidikan di bangku sekolah.  Mendidik anak dalam keluarga diperlukan cara atau metode yang baik dan benar sehingga anak tersebut dapat menerima pelajaran yang diberikan dengan baik. Adapun metode yang harus diterapkan dalam hal pendidikan agama Islam pada anak akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.

C.    Metodologi Pendidikan Agama Islam dalam Keluarga
1.      Pengertian Metodologi
Metode berasal dari dua perkataan yaitu meta dan hodos. Meta berarti “melalui” dan hodos  berarti “jalan atau cara”, bila ditambah dengan logi sehingga menjadi metodologi berarti “ilmu pengetahuan tentang jalan atau cara yang harus dilalui” untuk mencapai suatu tujuan, oleh karena kata logi  yang berasal dari bahasa Greek (Yunani) logos berarti “akal” atau “ilmu”.[9]
Adanya metodologi dalam pendidikan agama Islam dimaksudkan agar dalam mempelajari atau menyampaikan pelajaran dapat secara efektif pelajaran tersebut tersampaikan, sehingga tujuan dari belajar dapat tercapai dengan sebaik-baiknya.
Penerapan metode dalam mendidik tidak bisa diterapkan sembarangan, tapi harus sesuai dengan kepribadian yang ada pada diri penerima didikan itu. Para ahli psikologi pada umumnya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kepribadian itu bukan hanya mengenai tingkah laku yang dapat diamati saja, melainkan juga termasuk di dalamnya apakah sebenarnya individu itu.[10]
2.      Metodologi Pendidikan Agama Islam dalam Keluarga
Ada bermacam-macam metode yang dipergunakan dalam pendidikan agama Islam. Namun tidak semua metode bisa diterapkan pada kondisi dan situasi tertentu. Dalam penerapan metode pendidikan, pendidik harus bisa memahami situasi dan kondisi pada lingkungan serta anak didik agar pendidik tahu metode yang bagaimana yang harus diterapkan pada saat itu atau pada lingkungan itu.
Pembahasan kali ini akan dikhususkan pada lingkungan keluarga, terutama pada anak. Beberapa metode pendidikan agama Islam yang dapat diterapkan dalam keluarga antara lain:
a.       Metode Situasional
Mendorong anak didik untuk belajar dengan perasaan gembira dalam berbagai tempat dan keadaan. Metode ini dapat memberikan kesan-kesan yang menyenangkan, sehingga melekat pada ingatan yang tahan lama.
b.      Metode Bercerita
Metode ini banyak disukai, terutama oleh anak-anak. Cerita yang dibawakan bisa cerita dari kisah para Rasul atau berupa dongeng. Setelah bercerita, anak didik diberi tahu hikmah yang bisa diambil dari cerita itu, biasanya berupa nasehat, sesuai dengan firman Allah dalam Al-Quran surat Yusuf ayat 111:
لَقَدۡ كَانَ فِى قَصَصِہِمۡ عِبۡرَةٌ۬ لِّأُوْلِى ٱلۡأَلۡبَـٰبِ‌ۗ
Artinya: “Sesungguhnya di dalam kisah-kisah mereka terdapat ibarat bagi orang-orang yang berakal.”
c.       Metode Pemberian Hadiah dan Hukuman
Metode ini diterapkan melalui perilaku anak sehari-hari. Apabila ia telah mau melakukan suatu perintah atau perbuatan yang baik maka kita beri ia hadiah. Tapi jika ia berlaku yang tercela atau kurang baik, maka hukumanlah yang harus diberikan padanya. Namun dalam memberikan hukuman  harus yang bersifat mendidik, bukan yang melukai atau menyakiti.
Metode ini lebih tepat diterapkan pada anak yang baru belajar, kira-kira anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Setelah ia mulai mengerti, kita harus menjelaskan padanya, bahwa sesungguhnya melakukan perbuatan baik bukan semata-mata didasari agar mendapat hadiah, tapi karena menjalankan amal sholeh dan akanmendapat pahala dari Allah setelah melakukannya. Tujuan pokonya untuk membangkitkan perasaan tanggung jawab anak-didik.
d.      Metode Uswatun Hasanah
Allah berfirman dalam kitab suci Al-Quran surat Al-Ahzab ayat 21 yang berbunyi:
لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٌ۬
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.”
Ayat di atas mengandung makna bahwa kita dalam berperilaku hendaknya menyontoh Rosulullah. Begitu juga dengan pendidik, pendidik harus bisa memberi contoh yang baik pada anak didiknya, agar anak didik bisa menyontoh perbuatan baik tersebut. Metode ini lebih mudah diterapkan dalam dua hal, yaitu akhlak dan ibadah.
Ke-empat metode di atas tepat untuk diterapkan dalam pembelajaran pendidikan agama Islam pada lingkungan keluarga. Namun lebih baik lagi apabila dalam penyampaiannya disesuaikan dengan tingkat kemampuan berfikir dari anak didik itu sendiri. Alangkah lebih baiknya lagi bila dalam proses belajar ini diiringi dengan sentuhan kasih sayang, agar anak didik bisa merasakannya dan ia dapat menerapkan rasa kasih sayang pula pada orang lain kelak.


[1] Muslih USA, Pendidikan Islam di Indonesia (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991).
[2] Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1996).
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Arifin, Ilmu Pendidikan Islam  (Jakarta: Bumi Aksara, 2003).
[8] Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1997).
[9] Arifin, Ilmu Pendidikan Islam…. Ibid.
[10] Baharuddin, Psikologi Pendidikan (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007).
hit counter
perfume