Sabtu, 24 November 2012

TAFSIR AT-TAUBAH AYAT 60 & 103 (ZAKAT & SHODAQOH)


  • SURAT AT-TAUBAH AYAT 60

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَ فِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengelola-pengelolanya, para mu’allaf, serta untuk para budak, orang-orang yang berhutang, dan pada sabilillah,  dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang telah diwajibkan Allah. Dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana”. (At-Taubah: 60)

Kata as-Sadaqat (الصَّدَقَاتُ) yang disebutkan dalam surat at-Taubah/9 ayat 60 adalah bermakna zakat atau sedekah wajibah.[1]
Makna huruf ( لــ ) lam pada firman-Nya (للفقراء) lilfuqara’, Imam Malik berpendapat bahwa ia sekedar berfungsi menjelaskan siapa yang berhak menerimanya agar tidak keluar dari kelompok yang disebutkan.[2]
لِلْفُقَرَاءِ (Hanyalah untuk orang-orang fakir) yaitu orang yang tidak dapat menemukan peringkat ekonomi yang dapat mencukupi mereka. الْمَسكِيْنِوَ (orang-orang) yaitu mereka yang sama sekali tidak dapat menemukan apa-apa yang dapat menculupi mereka.[3] Menurut tafsir al-Mansur Orang fakir ialah orang tidak punya dan ia berhijrah, sedangkan miskin ialah orang yang tidak punya dan ia tidak berhijrah.[4]
وَالْعمِلِيْنَ عَلَيهَا (Pengurus-pengurus zakat) yaitu orang yang bertugas menarik zakat, yang membagi-bagikannya, juru tulisnya, dan yang mengmpulkannya.[5] Bahasan  para pakar hukum menyangkut (العاملين عليها) al-‘Amilin ‘alaiha/para pengelolanya juga beragam. Namun yang jelas mereka adalah yang melakukan pengelolaan terhadap zakat, baik mengumpulkan, menentukan siapa yang berhak, mencari mereka, maupun membagi dan mengantarnya pada mereka.  Kata (عليها) ‘alaiha memberi kesan bahwa para pengelola itu melakukan kegiatan mereka dengan sungguh-sungguh dan menyebabkan keletihan.[6]
 وَالْمُؤَلّفَةِ قُلُوبُهُمْ (Para muallaf yang dibujuk hatinya) supaya mau masuk Islam atau untuk memantapkan keislaman mereka, atau supaya mau masuk Islam orang-orang yang semisal dengannya, atau supaya mereka melindungi kaum muslim. Muallaf itu bermacam-macam jenisnya; Menurut pendapat Imam Syafii, jenis muallaf pertama dan yang terakhir pada masa sekarang (Zamannya Imam Syafii, pent.) tidak berhak lagi untuk mendapatkan bagianya, karena Islam telah kuat. Berbeda dengan dua jenis muallaf yang lainnya, maka keduanya masih berhak untuk diberi bagian.[7] Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah juga sependapat dengan itu. Mengenai golongan “muallaf”, maka ada di antara mereka itu orang-orang yang diberi zakat agar masuk Islam. Dan ada di antara golongan “muallaf” yang diberi bagian oleh Rasulullah untuk menebalkan imannya dan meneguhkan kepercayaan di dalam hatinya.[8]
وَفِى (Dan untuk) memerdekakan الرِّقَابِ  (budak-budak) yakni para hamba sahaya yang berstatus mukatab.[9] Kata (الرقاب) ar-riqab adalah bentuk jamak dari (رقبة) raqabah yang pada mulanya berarti “leher”. Makna ini berkembang sehingga bermakna “hamba sahaya” karena tidak jarang hamba sahaya berasal dari tawanan perang yang saat ditawan, tangan mereka dibelenggu dengan mengikatnya ke leher mereka. Atas dasar ini harta tersebut tidak diserahkan pada mereka pribadi, tetapi disalurkan untuk melepas belenggu yang mengikat mereka itu.[10]
وَالْغَارِمِيْنَ (Orang-orang yang berhutang) orang-orang yang mempunyai utang, dengan syarat bila ternyata utang mereka itu bukan untuk tujuan maksiat.[11] Imam syafi’i dan Ahmad Ibnu Hambal juga membenarkan memberi ganti dari zakat bagi siapa yang menggunakan uangnya untuk melakukan perdamaian atau kepentingan umum.[12]
وَفِي سَبِيلِ اللَهِ (untuk jalan Allah) yaitu orang orang yang berjuang di jalan Allah, tetapi tanpa ada yang membayarnya, sekalipun mereka adalah orang-orang yang berkecukupan.[13] Kini sekian banyak ulama kontemporer memasukkan dalam kelompok ini semua kegiatan sosial, baik yang dikelola oleh perorangan maupun organisasi-organisasi Islam, seperti pembangunan lembaga pendidikan, mesjid, rumah sakit, dan lain-lain, dengan alasan bahwa (سبيل الله) sabilillah  dari segi kebahasaan mencakup segala aktivitas yang mengantar menuju jalan dan keridhaan Allah.[14]
 Adapun  ( بن السبيل) Ibnu as-sabil yang secara harfiah berarti ”anak jalanan”, maka para ulama dahulu memahaminya dalam arti siapapun yang kehabisan bekal, dan dia sedang dalam perjalanan, walaupun dia kaya di negeri asalnya.[15] Mereka patut memperoleh bagian dari zakat sekedar cukup untuk bekal perjalanannya pulang pergi. [16]
فَرِيضَةً (Sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan) lafaz faridatan dinasabkan oleh fi’il yang keberadaannya diperkirakan.[17] Itu semua adalah hukum dan ketetapan yang diwajibkan oleh Allah, yang Maha bijaksana dalam ketentuan-ketentuan dan ketetapan-ketetapan-Nya, Maha mengetahui kemaslahatan hamba-hamba-Nya dan segala sesuatu yang lahir maupun yang batin.[18]

  • SURAT AT-TAUBAH AYAT 103

خُذْ مِنْ أَمْوَلِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُ هُمْ وَ تُزَ كِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيهِمْ إنَّ صَلَوتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمُ.
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”(at-Taubah: 103)

خُذْ مِنْ أَمْوَلِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُ هُمْ وَ تُزَكِّيْهِم بِهَا (Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka) dari dosa-dosa mereka. Maka Nabi saw mengambil sepertiga harta mereka, kemudian menyedekahkannya.[19] Di sini Nabi Muhammad saw diperintah: Ambillah atas nama Allah sedekah, yakni harta yang berupa zakat dan sedekah yang hendaknya mereka serahkan dengan  penuh kesungguhan dan ketulusan hati, dari sebagian harta mereka, bukan seluruhnya, bukan pula sebagian besar, dan tidak juga yang terbaik; dengannya yakni dengan harta yang engkau ambil itu engkau membersihkan engkau membersihkan harta dan jiwa mereka dan mensucikan jiwa lagi mengembangkan harta mereka.[20]
وَصَلِّ عَلَيهِمْ (Dan berdoalah untuk mereka) Maksudnya, berdoalah untuk mereka dan mohonkanlah ampunan buat mereka.[21] Guna menunjukkan restumu terhadap mereka dan memohonkan keselamatan dan kesejahteraan bagi mereka.[22]
إنَّ صَلَوتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ  (Sesungguhnya doamu itu ketentraman  jiwa bagi mereka) yang selama ini gelisah dan takut akibat dosa-dosa yang mereka lakukan.[23] Menurut suatu pendapat yang dimaksud dengan sakanun ialah ketenangan batin lantaran yobat mereka diterima.[24] Menurut Ibnu Abbas, menjadi rahmat buat mereka. Sedangkan menurut Qatadah, menjadi ketentraman jiwa bagi mereka.[25]
وَ اللهُ سَمِيعٌ عَلِيمُ (Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui) Yakni mendengar kepada doamu dan mengetahui orang yang berhak mendapatkan hal itu darimu dan orang yang pantas untuk memperolehnya.[26]
****



[1] Kementrian Agama RI, Al-Qur’an & Tafsirnya,  Jilid IV (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), h. 137.
[2] Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Volume 5 (Jakarta: Lentera Hati, 2002),  h. 596.
[3]Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuti, Tafsir Jalalain, Jilid I, diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar  (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010) h. 743-744.
[4] Ad-Dauru Al-Mansur, Tafsir Al-Mansur, Jilid 4, diterjemahkan oleh Abdurrahman Jalaludin As-Suyuthi (Beirut: Dar Al-Fikr, tth), h. 222.
[5] Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuti.....Ibid., h. 744.
[6] Quraish Shihab.....Ibid.,
[7] Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuti.....Ibid.,
[8] Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, jilid 4 (Surabaya: Bina Ilmu, 1988),  h. 75.
[9] Ibid.,
[10] Quraish Shihab.....Ibid., h. 598.
[11] Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuti.....Ibid.,
[12] Quraish Shihab.....Ibid., h. 599.
[13] Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuti.....Ibid.,
[14] Quraish Shihab.....Ibid.,
[15] Ibid., h. 600.
[16] Salim Bahreisy dan Said Bahreisy.....Ibid., h. 78.
[17] Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuti.....Ibid.,
[18] Salim Bahreisy dan Said Bahreisy.....Ibid., h. 79.
[19] Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuti.....Ibid., h. 764.
[20] Quraish Shihab.....Ibid., h. 666.
[21]Al-Imam Abul Fida Ismail Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir, Juz 11, diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar (Bandung: Sinar Baru lgensindo, 2003), h, 23.
[22] Quraish Shihab.....Ibid.,
[23] Ibid.,
[24] Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuti.....Ibid., 764.
[25] Al-Imam Abul Fida Ismail Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi.....Ibid., h. 24.
[26] Al-Imam Abul Fida Ismail Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi.....Ibid., h. 24.

Kamis, 08 November 2012

PENETAPAN AWAL DAN AKHIR BULAN RAMADHAN

Oleh: Izza, Ida, Renny, Fala.
A.      Penetapan Awal dan Akhir Bulan Ramadhan
Puasa Ramadhan wajib dilaksanakan dengan ijma’, jika telah ada kepastian masuknya (terbitnya) bulan Ramadhan, karena adanya seorang muslim yang adil, melihat bulan tsabit Ramadhan, atau menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban tiga puluh hari.
Masuknya bulan Ramadhan dan tanggal mulainya Idhul Fitri, ditentukan oleh dua cara, yaitu:
1.  Ru’yah adalah suatu cara untuk menetapkan awal bulan Qamariyah (Ramadhan), dengan jalan melihat dengan panca indra mata, timbulnya atau munculnya bulan tsabit, dan  bila udara mendung atau cuaca buruk, sehingga bulan tidak dapat dilihat, maka hendaklah menggunakan istikmal (menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari). Allah SWT. berfirman:
 فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Karena itu, barang siapa diantara kamu hadir (di negri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (QS. Al Baqarah: 185)

Diperkuat lagi dengan sabda Rasullullah SAW:
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَاَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَاِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا.
Puasalah kalian karena melihatnya (hilal), dan ber-Idul Fitrilah karena melihatnya. Jika mendung menutupi kalian darinya, maka genapkanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.  (HSR. Bukhari 4/106, dan Muslim 1081)
2. Hisab adalah suatu cara untuk menetapkan awal bulan Qamariyah (Ramadhan), dengan jalan menggunakan perhitungan secara ilmu astronomi, sehingga dapat ditentukan secara eksak, letak bulan. Dengan demikian, diketahui pula awal bulan Qamariyah tersebut.
Kedua jenis sistem tersebut (ru’yah dan hisab) dapat dipakai untuk menentukan awal bulan Ramadhan, maupun awal bulan Syawal (idul fitri), sebagaimana yang dikatakan oleh Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash Shiddiqi, “bahwa menentukan awal dan akhir puasa, boleh mempergunakan salah satu dari dua cara tersebut, baik sistem Hisab, ataupun sistem Ru’yah. Bukankah kedua-duanya mempunyai alasan yang kuat menurut mereka masing-masing, dan sama-sama bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits.
Ini berdasarkan ucapan Nabi SAW:
صُوْمُوْا لِرُؤيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤيَتِهِ، فَإنْ غَبِيَ عَلَيْكُمْ فَأ كْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِيْنَ
 “Berpuasalah karena melihatnya (hilal), dan berbukalah (berhari raya) karena melihatnya pula. Jika mendung, maka sempurnakanlah bulan Sya’ban sampai tiga puluh hari.” (HR. Bukhari dan Abu Hurairah).
Makna hadits ini ialah, jika langit cerah, maka perintah puasa terkait pada melihat hilal. Artinya, tidak boleh berpuasa kecuali jika melihat hilal. Jika langit mendung, maka yang menjadi patokan adalah bulan Sya’ban, dalam arti kita menyempurnakannya sampai tiga puluh hari. Karena itu, bila dalam perhitungan kita bilangan bulan Sya’ban masih kurang (misalnya baru 29 hari), maka kita harus melengkapi kekurangan tersebut (menambah satu hari lagi), jika bilangan harinya telah sempurna (tiga puluh hari), wajiblah kita berpuasa.
Terdapat beberapa perbedaan dalam penentuan bulan Ramadhan dan bulan Syawal ini, sehingga terjadi perbedaan pula pada waktu pelaksanaan puasa dan hari raya. Di bawah ini akan dijelaskan perbedaan penentuan awal dan akhir bulan Ramadhan menurut empat Mazhab.

B.       Perbedaan Pendapat Tentang Penentuan Waktu Ramadhan
Pendapat para fukaha mengenai cara menentukan hilal bulan Ramadhan dan Syawal berkisar antara tiga hal, yaitu : (1) penglihatan yang dilakukan oleh sejumlah orang banyak, (2) penglihatan yang dilakukan oleh orang-orang Muslim yang adil, dan (3) penglihatan yang dilakukan oleh seseorang yang adil.
Mazhab Hanafi berpendapat sebagai berikut.
1.   Jika langit cerah, maka untuk menetapkan bulan Ramadhan, berbuka puasa, dan hari raya, hilal harus disaksikan oleh orang banyak.
2.    Jika langit tidak cerah dikarenakan mendung atau yang lainnya, maka – untuk terlihatnya hilal – imam cukup meminta kesaksian dari seorang muslim yang adil (orang yang kebaikannya mengalahkan kejelekannya), berakal, baligh, atau orang yang identitasnya belum diketahui; baik laki-laki maupun perempuan; baik orang yang merdeka maupun yang lain.
Mazhab Maliki berpendapat bahwa hilal bulan Ramadhan ditetapkan dengan rukyat melalui tiga kesaksian.
1.  Kesaksian yang dilakukan sekelompok orang banyak, meskipun mereka bukan kelompok orang yang adil. Yang penting, masing-masing mereka diyakini tidak mungkin melakukan kebohongan. Dalam hal ini, kesaksian mereka tidak disyaratkan harus laki-laki, orang merdeka, atau yang adil.
2.   Kesaksian yang dilakukan oleh dua orang yang adil atau lebih. Dengan kesaksian keduanya, puasa dan berbuka pada bulan Ramadhan menjadi sah adanya, baik ketika langit mendung maupun cerah.
3.   Kesaksian yang dilakukan oleh seseorang yang adil. Dengan kesaksian ini, puasa dan berbuka pada bulan Ramadan wajib bagi orang yang melihat hilal, atau bagi orang yang menerima pemberitahuan darinya. Adapun hilal bulan Syawal harus ditetapkan melalui kesaksian sekelompok orang yang diyakini tidak mungkin berbohong atau dengan kesaksian dua orang yang adil, sebagaimana dalam menetapkan hilal ramadan.
Hilal tidak bisa ditetapkan melalui pernyataan astrolog baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Karena pembuat Syarak menetapkan puasa (awal Ramadan), berbuka (awal bulan Syawal), dan haji dengan terlihat hilal. Dengan demikian, penetapan awal bulan dengan metode falak, meskipun benar, hukumnya tidak boleh.
Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa penetapan terhadap penglihatan hilal bulan Ramadan, bulan Syawal, atau bulan yang lain adalah melalui kesaksian seseorang yang adil, meskipun identitasnya belum diketahui, baik ketika langit cerah maupun mendung. Tetapi, dengan syarat bahwa orang yang melihat itu seorang yang adil, Muslim, balig, berakal, merdeka, laki-laki, dan mengucapkan: “Aku bersaksi”. Dengan demikian hilal tidak boleh ditetapkan melalui kesaksian orang fasik, anak kecil, orang gila, hamba sahaya, dan perempuan.
Dalil mazhab Syafi’i adalah bahwa pada suatu saat Ibnu Umar melihat hilal. Lalu, dia memberitahukannya kepada Rasulullah SAW. Dan ternyata Rasulullah SAW berpuasa dan menyuruh orang-orang untuk berpuasa. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas disebutkan sebagai berikut:
جَاءَأعْرَابِيٌ إلَى رَسُوِل اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَا ل: اِنَّى رَاَيْتُ هِلَالَ رَمَضَا نَ فَقَالَ: أتَشْهَدُاَنْ لَااِلَهَ اِلَّااللهُ؟ قَالَ:نَعَمْ، قَالَ:تَشْهَدُاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ؟ قَالَ: يَا بِلَالُ ، اَذِّنْ فِى النَّاسِ فَلْيَصُومُواغَدًا.
Seorang Arab Badui datang kepada Rasulullah SAW. Dia berkata : “Aku melihat hilal bulan Ramadan.” Rasulullah bertanya: “Apakah kau bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?” Dia menjawab: “Ya.” Beliau bertanya lagi: “Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?” Dia menjawab: “Ya.” Kemudian beliau bersabda: “Wahai Bilal, beritahulah orang-orang agar mereka berpuasa esok hari.

Hikmah penetapan bulan dengan kesaksian seseorang adalah sebagai upaya kehati-hatian (ihtiyath) dalam berpuasa.
Jika kita berpuasa pada bulan Ramadan dengan berpegang kepada kesaksian seseorang yang adil, kemudian kita tidak melihat hilal setelah bulan Ramadan mencapai tiga puluh hari, kita mesti berbuka kendatipun langit dalam keadaan cerah. Hal demikian terjadi karena jumlah hari dalam satu bulan berdasarkan hujah syara’ telah sempurna. Begitulah menurut pendapat yang paling shahih.
Mazhab Hanbali berpendapat bahwa penetapan hilal Ramadhan dapat diterima melalui penyataan seorang mukalaf yang adil; baik secara terang-terangan maupun tidak, baik laki-laki maupun perempuan, baik orang yang meredeka maupun hamba sahaya, sekalipun tidak mengucapkan: “Aku bersaksi bahwa aku telah melihat hilal”. Dengan demikian, pernyataan seorang anak kecil yang mumayiz tidak bisa diterima. Begitu juga pernyataan orang yang identitasnya belum diketahui, dan meskipun dia berada di sekelompok orang banyak, yang selain dirinya tidak seorangpun melihat hilal. Penolakan terhadap kesaksian dua orang tadi (mumayiz dan orang yang identitasnya belum diketahui) dikarenakan penyataan keduanya dipandang tidak tsiqat.
الصَومُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ الْفِطْرُيَومَ يَفْطِرُونَ وَالاَضْحَى يَوْمَ يُضَحُوْنَ
Berbuka adalah pada hari ketika orang-orang berbuka dan berkurban adalah pada hari ketika mereka berkurban. (HR. Tirmidzi [693] dan Ibnu Majah [1660] dinyatakan sanadnya jayyid oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah [hadits ke-224], Sahih wa Dha’if Sunan At-Tirmidzi [697], dan Shahihul Jami’ [3869] dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu).

Kewajiban puasa tidak bisa ditetapkan dengan hisab atau ilmu perhitungan, meskipun keduanya seringkali benar sebab, tidak ada sanad yang menceritakan bahwa syarak berpegang kepada keduanya.
Penetapan bulan-bulan yang lain, seperti Syawal dan yang lainnya, tidak bisa diterima, kecuali dengan kesaksian dua orang yang adil. Keduanya harus mengucapkan kesaksian, karena bulan-bulan selain Ramadan pada umumnya diketahui oleh orang banyak. Adapun dalam penetapan Ramadan, cara di atas (yakni, kesaksian yang harus diberikan minimal oleh dua orang yang adil) tidak digunakan. Alasannya, karena puasa merupakan ibadah, sehingga kita harus berhati-hati. Kita khawatir, waktu puasa telah tiba tetapi kita tidak berpuasa.
Jika orang-orang (dengan berpegang kepada kesaksian dua orang yang adil) telah berpuasa selama 30 hari, kemudian mereka tidak melihat hilal sebagai pertanda puasa berakhir, hendaknya mereka mengakhiri puasa, baik ketika langit cerah maupun mendung. Pendapat ini didasarkan atas hadits yang diriwayatkan oleh Abdur-Rahman bin Zaid bin Khaththab di muka. Hadits itu menyatakan bahwa Nabi SAW bersabda:
وَاِنْ شَهِدَشَهِدَانِ فَصُومُواوَأَفْطِرُوا
Apabila dua orang telah bersaksi, maka berpuasalah dan berbukalah.
Akan tetapi, jika puasa mereka selama tiga puluh hari itu berdasarkan kesaksian satu orang, mereka tidak boleh berbuka (mengakhiri puasa). Sebab, penetapan waktu berbuka tidak boleh disandarkan kepada satu orang. Ketidakbolehan ini berlaku pula jika dia menyaksikan hilal bulan Syawal.
Jika mereka telah berpuasa selama dua puluh delapan hari kemudian melihat hilal, mereka harus meng-qadha puasa satu hari. Jika mereka berpuasa karena langit mendung atau tertutup kabut, mereka tidak boleh berbuka. Sebab pada dasarnya, berpuasa merupakan tindakan ihtiyath. Dan, jika berpegang kepada hukum asal, yakni “bahwa bulan Ramadan masih ada”, maka hal itu merupakan tindakan yang paling baik.
Jika dua orang yang adil melihat hilal bulan Syawal, tetapi mereka tidak bersaksi di hadapan kadi, maka orang yang mendengar kesaksian dan telah mengenal kejujuran keduanya boleh berbuka. Masing-masing dari keduanya boleh berbuka dengan berpegang pada pendapat keduanya; dengan catatan, setiap orang diantara mereka telah sama-sama mengetahui kejujuran masing-masing. Pendapat ini didasarkan atas hadits di atas. Yakni, “Jika dua orang telah bersaksi, maka berpuasalah dan berbukalah.”
Jika salah satu dari kedua orang yang adil tadi tidak mengenal kejujuran temannya, dia tidak boleh berbuka karena mungkin saja temannya itu orang fasik. Namun, jika kadi memutuskan dengan kesaksiannya sendiri, maka tidak ada masalah.
Mengenai dua orang saksi yang memberikan kesaksian di hadapan kadi bahwa mereka telah melihat hilal buan Syawal, terdapat dua kemungkinan. Pertama, jika kadi menolakkesaksian mereka karena tidak mengetahui identitas keduanya, maka orang yang telah mengenal kejujuran keduanya boleh berbuka. Sebab dengan penolakannya bukan berarti kesaksian keduanya tidak bisa diterima, melainkan hal itu terjadi karena dia tidak mengetahui identitas keduanya. Tindakan hakim waktu itu sama dengan orang yang sedang menanti bukti-bukti tentang keduanya. Jika setelah itu keduanya terbukti merupakan orang yang adil, hukumnya jelas bisa ditetapkan. Kedua, jika hakim menolak kesaksian mereka karena keduanya merupakan orang yang fasik, maka kesaksian keduanya tidak membolehkan berbuka (mengakhiri puasa), baik bagi keduanya maupun bagi selain mereka.
Jika keberadaan bulan meragukan para tawanan atau orang yang dipenjara, orang yang berada di dalam medan pertempuran, atau yang lainnya, mereka wajib berijtihad dan berusaha mengetahui kedatangan bulan Ramadan. Sebab, dia berkemungkinan untuk melaksanakan kewajibannya berdasarkan ijtihad. Dia mesti berpuasa seperti halnya seseorang mesti berijtihad dalam menghadap kiblat (ketika arah kiblat yang pasti tidak diketahuinya).
Jika ijtihadnya sesuai dengan yang sebenarnya – yakni bulan Ramadan atau bulan sesudahnya – puasa yang dilakukan berdasarkan hasil ijtihadnya sudah dipandang cukup. Jika bulan tersebut ternyata kurang (berjumlah dua puluh sembilan hari), sedangkan bulan Ramadan yang tidak didasarinya adalah sempurna (tiga puluh hari), dia hanya wajib meng-qadha puasanya yang kurang. Karena, peng-qadhaan puasa harus sesuai dengan jumlah puasa yang tertinggal atau kurang.
Jika puasanya ternyata dilakukan pada bulan sebelum Ramadan, seperti Sya’ban, maka puasa yang dilakukannya tidak dipandang cukup (sah), sebab dia melakukan ibadah sebelum waktunya. Hal itu jelas tidak dipandang sah, seperti halnya shalat. Jika puasa yang dilakukannya ternyata sebagiannya dilakukan pada bulan Ramadan atau sesudahnya, puasa yang dipandang sah adalah puasa yang dilakukan pada bulan Ramadan atau bulan sesudahnya. Sedangkan, puasa yang dilakukan pada bulan sebelum Ramadan dipandang tidak sah.
Jika seseorang yang tidak mengetahui datangnya bulan Ramadan secara pasti berpuasa tanpa ijtihad terlebih dahulu, padahal dia mampu berijtihad, maka hukumnya sama dengan orang yang tidak mengetahui kiblat. Puasanya tidak dipandang sah.
Kesimpulan:
Mazhab Hanafi – untuk menetapkan hilal bulan Ramadan dan Syawal – menyaratkan agar hilal harus dilihat oleh sekelompok orang banyak. Dengan catatan jika langit dalam keadaan cerah. Namun jika langit dalam keadaan mendung atau yang lainnya, untuk melihat hilal cukup dengan kesaksian seseorang yang adil.
Sedangkan menurut Mazhab Maliki, hilal harus dilihat oleh dua orang yang adil atau lebih. Bahkan, bagi orang yang tidak memiliki kecenderungan untuk memperhatikan hilal, kesaksian seorang yang adil – menurut mereka sudah dipandang cukup.
Mazhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa hilal cukup dilihat oleh seorang yang adil, meskipun – menurut Mazhab Syafi’i – identitas orang yang adil itu belum diketahui. Sebaliknya, menurut mazhab Hanbali, kesaksian orang yang identitasnya belum diketahui tidak dipandang cukup. Hal ini, menurut mazhab Hanbali, sama dengan keharusan terlihatnya hilal bulan Syawal (untuk menetapkan hari raya) oleh dua orang yang adil.
Menurut Mazhab Hanafi dan Hanbali, kesaksian perempuan bisa diterima.
Sebaliknya, menurut mazhab Maliki dan Syafi’i, kesaksian perempuan tidak bisa diterima.

Mencari Hilal
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa kaum muslim wajib mencari hilal pada hari ke-29 bulan Sya’ban dan hilal bulan Syawal, untuk menyempurnakan bilangan puasa Ramadan. Jika mereka melihatnya, mereka harus berpuasa. Tetapi, jika langit mendung, mereka hendaknya menyempurnakan bulan Sya’ban 30 hari, kemudian berpuasa pada hari sesudahnya, karena hukum asal dalam kasus ini adalah bahwa bulan Sya’ban itu masih ada. Suatu bulan tidak berpindah ke bulan yang lainnya, kecuali dengan bukti. Sementara untuk kasus ini, bukti itu (hilal) belum ada.
Mazhab Hambali berpendapat bahwa mencari hilal sebagai upaya kehati-hatian (ihtiyath) untuk berpuasa dan menghindari perbedaan pendapat (ikhtilaf), hukum sunah Aisyah berkata :
كَانَ النَّبِى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَفَّظُ فِى شَعْبَانَ مَالَا يَتَحَفَّظُ فِى غَيرِهِ ، ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ
Pada bulan Sya’ban, Nabi SAW lebih berhati-hati dibandingkan dengan bulan yang lain. Kemudian beliau berpuasa karena melihat (hilal bulan Ramadan.

Dalam hadits marfu’ yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah disebutkan sebagai berikut:
أحْصُوا هلَالَ شَعْبَا نَ لِرَمَضَا نَ
Hitunglah hilal bulan Sya’ban untuk bulan Ramadan.

Seseorang yang melihat hilal disunahkan bertakbir tiga kali dan mengucapkan:
اَللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِاْليُمْنَ وَاْلإِيْمَانِ، واْلاَمْنِ وَاْلاَمَانِ رَبِّى وَرَبُّكَ اللهُ
Wahai Allah yang telah menampakkan hilal kepada kami dengan keberkatan dan keimanan, keamanan, serta kesesntosaan. Tuhanku dan Tuhanmu (hilal) adalah Allah.

Kemudian hendaknya ia mengucapkan ucapan ini tiga kali dan disambung dengan ucapan berikutnya:
هِلَا لُ خَيرٍ و رُشْدٍ
Hilal merupakan kebaikan dan petunjuk.

مَنتُ بِالَّذِى خَلَقَكَ
Aku beriman kepada Zat yang telah mencptakanmu.
Lalu dia mengucapkan:

الحَمدُ لِلهِ الّذِى ذَهَبَ بِشَهْرِ كَذَا وَ جَاءَ بِشَهْرِ كَذَا
Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan bulan...dan membawa bulan....

Al-Atsram meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Umar. Dia berkata,
كَانَ النَّبِى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا رَأَ الهِلَالَ، اللهُ أَكْبَرُ، اَللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِاْلأَمْنِ وَاْلإِيْمَانِ، وَالسَّلاَمَةِ وَاْلإِسْلاَمِ، وَالتَّوْفِيْقِ لِمَا تُحِبُّ وَتَرْضَى، رَبِّى وَرَبُّكَ اللهُ
Jika Nabi SAW melihat hilal, beliau berkata: “Allah Akbar, wahai Allah yang telah menampilkan hilal kepada kami dengan keberkatan dan keimanan, keselamatan, keislaman, serta petunjuk bagi yang Engkau senangi dan ridai. Tuhanku dan Tuhanmu (hilal) adalah Allah.”

Menurut mazhab Hanafi, jika hilal terlihat, kita dimakruhkan menunjuknya. Sebab, tindakan tersebut merupakan tindakan jahiliyah.

C.      Perbedaan Matlak (Waktu Pemunculan Hilal)
Ada dua perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan fukaha mengenai wajib-tidaknya puasa atas semua umat Islam – tanpa kecuali, di timur dan di barat – dalam satu waktu. Perbedaan tersebut diukur dari apakah waktu terbit bulan itu sama ataukah beda. Menurut Jumhur, puasa dikalangan umat Islam adalah satu. Perbedaan terbit bulan (hilal) tidak dijadikan pegangan, sedangkan menurut mazhab Syafi’i, permulaan puasa dan hari raya akan berbeda, bergantung kepada terbit bulan yang terjadi di masing-masing tempat yang saling berjauhan. Menurut pendapat yang sahih dalam mazhab ini, pernyataan sebagian mazhab Syafi’i di bawah ini tidak dijadikan pegangan. Pernyataan tersebut ialah bahwa perbedaan antara daerah yang dekat dan daerah yang jauh diukur sesuai dengan jarak diperbolehkan mengqashar salat (89 km).
Perbedaan pendapat ini masih saja terjadi, padahal kita mengetahui bahwa perbedaan waktu terbit hilal tidak bisa diperselisihkan. Perbedaan waktu pemunculan hilal adalah hal yang pasti terjadi antara beberapa daerah yang jaraknya saling berjauhan. Hal ini sama dengan perbedaan waktu terbit matahari. Dan tidak diperselisihkan bahwa imam berhak menentukan waktu puasa sesuai dengan wilayah kekuasaannya, karena keputusan pemimpin dapat menghilangkan perbedaan pendapat. Para ulama sepakat bahwa keputusan tersebut tidak berlaku secara bersamaan bagi daerah-daerah yang sangat jauh, misalnya antara daerah Spanyol dan daerah Hijaz atau antara daerah Indonesia dan daerah Maroko, Arab.
Mazhab Hanafi. Menurut pendapat yang jelas, mazhab ini berpendapat bahwa perbedaan waktu terbit dan terlihatnya hilal pada siang hari sebelum matahari tergelincir dan sesudahnya tidak perlu dipermasalahkan. Pendapat ini dikemukakkan oleh para tokoh mazhab dan akhirnya dijadikan fatwa mazhab.
Mazhab Maliki. Mazhab ini berpendapat jika hilal terlihat, puasa menjadi wajib atas semua daerah, baik daerah yang dekat maupun daerah yang jauh. Dalam hal ini, jarak qashar (maksudnya, jarak yang membolehkan pengqasharan salat) tidak berlaku, baik kemunculan hilal itu sama maupun berbeda.
Mazhab Hambali. Mazhab ini berpendapat bahwa jika hilal telah pasti terlihat di suatu daerah, baik daerah itu dekat maupun jauh, semua orang wajib berpuasa. Orang yang tidak melihat hilal itu harus mengikuti orang yang telah melihatnya.
Mazhab Syafi’i. Mereka berpendapat jika hilal terlihat di suatu daerah, kewajiban puasa hanya daerah-daerah yang dekat. Tidak termasuk daerah-daerah yang jauh. Kewajiban puasa bergantung kepada perbedaan waktu terbit hilal. Demikianlah menurut pendapat yang paling sahih dalam mazhab ini. Perbedaan mutlak terjadi dalam jarak yang kurang dari 24 farsakh.
 ****

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jaziri, Abdulrahman. 1996. Puasa menurut Empat Mazhab, Al-Fiqh ’ala al Madzahib al-Arba’ah, Diterjemahkan oleh Husni Syawie, Jakarta: Lentera Basritama.
Al-Zuhaily, Wahbah. 1995. Puasa dan Itikaf. Bandung: PT Rema Rosdakarya.
Azam , Abdul Aziz Muhammad dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. 2010.  FiqhIbadah, Jakarta: Bumi Aksara.
Ja’far , Muhammadiyah. 1997. Tuntunan Ibadat Zakat, Puasa, & Haji. Jakarta: Kalam Muia.
hit counter
perfume