Oleh: Izza, Ida, Renny, Fala.
A.
Penetapan Awal dan Akhir Bulan Ramadhan
Puasa Ramadhan wajib dilaksanakan dengan ijma’, jika telah ada
kepastian masuknya (terbitnya) bulan Ramadhan, karena adanya seorang muslim
yang adil, melihat bulan tsabit Ramadhan, atau menyempurnakan bilangan bulan
Sya’ban tiga puluh hari.
Masuknya bulan Ramadhan dan tanggal mulainya Idhul Fitri,
ditentukan oleh dua cara, yaitu:
1. Ru’yah adalah suatu cara
untuk menetapkan awal bulan Qamariyah (Ramadhan), dengan jalan melihat dengan
panca indra mata, timbulnya atau munculnya bulan tsabit, dan bila udara mendung atau cuaca buruk, sehingga
bulan tidak dapat dilihat, maka hendaklah menggunakan istikmal (menyempurnakan
bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari). Allah SWT. berfirman:
فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Karena itu,
barang siapa diantara kamu hadir (di negri tempat tinggalnya) di bulan itu,
maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (QS. Al Baqarah: 185)
Diperkuat lagi dengan
sabda Rasullullah SAW:
صُوْمُوْا
لِرُؤْيَتِهِ وَاَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَاِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاَكْمِلُوْا
عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا.
Puasalah kalian karena
melihatnya (hilal), dan ber-Idul Fitrilah karena melihatnya. Jika mendung
menutupi kalian darinya, maka genapkanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga
puluh hari. (HSR. Bukhari 4/106, dan Muslim 1081)
2. Hisab adalah suatu cara
untuk menetapkan awal bulan Qamariyah (Ramadhan), dengan jalan menggunakan
perhitungan secara ilmu astronomi, sehingga dapat ditentukan secara eksak,
letak bulan. Dengan demikian, diketahui pula awal bulan Qamariyah tersebut.
Kedua jenis sistem tersebut (ru’yah dan hisab) dapat dipakai untuk
menentukan awal bulan Ramadhan, maupun awal bulan Syawal (idul fitri),
sebagaimana yang dikatakan oleh Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash Shiddiqi, “bahwa
menentukan awal dan akhir puasa, boleh mempergunakan salah satu dari dua cara
tersebut, baik sistem Hisab, ataupun sistem Ru’yah. Bukankah kedua-duanya
mempunyai alasan yang kuat menurut mereka masing-masing, dan sama-sama
bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits.
Ini berdasarkan ucapan Nabi SAW:
صُوْمُوْا
لِرُؤيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤيَتِهِ، فَإنْ غَبِيَ عَلَيْكُمْ فَأ كْمِلُوا
عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِيْنَ
“Berpuasalah karena melihatnya (hilal), dan
berbukalah (berhari raya) karena melihatnya pula. Jika mendung, maka
sempurnakanlah bulan Sya’ban sampai tiga puluh hari.” (HR. Bukhari dan Abu Hurairah).
Makna hadits ini ialah, jika langit cerah, maka perintah puasa
terkait pada melihat hilal. Artinya, tidak boleh berpuasa kecuali jika melihat hilal.
Jika langit mendung, maka yang menjadi patokan adalah bulan Sya’ban, dalam arti
kita menyempurnakannya sampai tiga puluh hari. Karena itu, bila dalam
perhitungan kita bilangan bulan Sya’ban masih kurang (misalnya baru 29 hari),
maka kita harus melengkapi kekurangan tersebut (menambah satu hari lagi), jika
bilangan harinya telah sempurna (tiga puluh hari), wajiblah kita berpuasa.
Terdapat beberapa perbedaan dalam penentuan bulan Ramadhan dan
bulan Syawal ini, sehingga terjadi perbedaan pula pada waktu pelaksanaan puasa
dan hari raya. Di bawah ini akan dijelaskan perbedaan penentuan awal dan akhir
bulan Ramadhan menurut empat Mazhab.
B.
Perbedaan Pendapat Tentang Penentuan Waktu Ramadhan
Pendapat para fukaha
mengenai cara menentukan hilal bulan Ramadhan dan Syawal berkisar antara tiga
hal, yaitu : (1) penglihatan yang dilakukan oleh sejumlah orang banyak, (2)
penglihatan yang dilakukan oleh orang-orang Muslim yang adil, dan (3)
penglihatan yang dilakukan oleh seseorang yang adil.
Mazhab Hanafi berpendapat sebagai berikut.
1. Jika langit cerah, maka
untuk menetapkan bulan Ramadhan, berbuka puasa, dan hari raya, hilal harus
disaksikan oleh orang banyak.
2. Jika langit tidak cerah
dikarenakan mendung atau yang lainnya, maka – untuk terlihatnya hilal – imam
cukup meminta kesaksian dari seorang muslim yang adil (orang yang kebaikannya
mengalahkan kejelekannya), berakal, baligh, atau orang yang identitasnya belum
diketahui; baik laki-laki maupun perempuan; baik orang yang merdeka maupun yang
lain.
Mazhab Maliki berpendapat bahwa hilal bulan Ramadhan ditetapkan dengan rukyat
melalui tiga kesaksian.
1. Kesaksian yang dilakukan
sekelompok orang banyak, meskipun mereka bukan kelompok orang yang adil. Yang
penting, masing-masing mereka diyakini tidak mungkin melakukan kebohongan. Dalam
hal ini, kesaksian mereka tidak disyaratkan harus laki-laki, orang merdeka,
atau yang adil.
2. Kesaksian yang dilakukan
oleh dua orang yang adil atau lebih. Dengan kesaksian keduanya, puasa dan
berbuka pada bulan Ramadhan menjadi sah adanya, baik ketika langit mendung
maupun cerah.
3. Kesaksian yang dilakukan
oleh seseorang yang adil. Dengan kesaksian ini, puasa dan berbuka pada bulan
Ramadan wajib bagi orang yang melihat hilal, atau bagi orang yang menerima
pemberitahuan darinya. Adapun hilal bulan Syawal harus ditetapkan melalui
kesaksian sekelompok orang yang diyakini tidak mungkin berbohong atau
dengan kesaksian dua orang yang adil, sebagaimana dalam menetapkan hilal
ramadan.
Hilal tidak bisa ditetapkan melalui pernyataan astrolog baik bagi
dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Karena pembuat Syarak menetapkan puasa
(awal Ramadan), berbuka (awal bulan Syawal), dan haji dengan terlihat hilal.
Dengan demikian, penetapan awal bulan dengan metode falak, meskipun benar,
hukumnya tidak boleh.
Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa penetapan terhadap penglihatan hilal bulan
Ramadan, bulan Syawal, atau bulan yang lain adalah
melalui kesaksian seseorang yang adil, meskipun identitasnya belum diketahui,
baik ketika langit cerah maupun mendung. Tetapi, dengan syarat bahwa orang yang
melihat itu seorang yang adil, Muslim, balig, berakal, merdeka, laki-laki, dan
mengucapkan: “Aku bersaksi”. Dengan demikian hilal tidak boleh ditetapkan
melalui kesaksian orang fasik, anak kecil, orang gila, hamba sahaya, dan
perempuan.
Dalil mazhab Syafi’i adalah bahwa pada suatu saat Ibnu Umar
melihat hilal. Lalu, dia memberitahukannya kepada Rasulullah SAW. Dan ternyata
Rasulullah SAW berpuasa dan menyuruh orang-orang untuk berpuasa. Dalam hadits
yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas disebutkan sebagai berikut:
جَاءَأعْرَابِيٌ إلَى رَسُوِل اللهِ
صلى الله عليه وسلم فَقَا ل: اِنَّى رَاَيْتُ هِلَالَ رَمَضَا نَ فَقَالَ:
أتَشْهَدُاَنْ لَااِلَهَ اِلَّااللهُ؟ قَالَ:نَعَمْ، قَالَ:تَشْهَدُاَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ؟ قَالَ: يَا بِلَالُ ، اَذِّنْ فِى النَّاسِ
فَلْيَصُومُواغَدًا.
Seorang Arab Badui datang kepada
Rasulullah SAW. Dia berkata : “Aku melihat hilal bulan Ramadan.” Rasulullah
bertanya: “Apakah kau bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?” Dia menjawab:
“Ya.” Beliau bertanya lagi: “Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan
Allah?” Dia menjawab: “Ya.” Kemudian beliau bersabda: “Wahai Bilal, beritahulah
orang-orang agar mereka berpuasa esok hari.
Hikmah
penetapan bulan dengan kesaksian seseorang adalah sebagai upaya kehati-hatian (ihtiyath) dalam berpuasa.
Jika
kita berpuasa pada bulan Ramadan dengan berpegang kepada kesaksian seseorang
yang adil, kemudian kita tidak melihat hilal setelah bulan Ramadan mencapai
tiga puluh hari, kita mesti berbuka kendatipun langit dalam keadaan cerah. Hal
demikian terjadi karena jumlah hari dalam satu bulan berdasarkan hujah syara’
telah sempurna. Begitulah menurut pendapat yang paling shahih.
Mazhab
Hanbali
berpendapat bahwa penetapan hilal Ramadhan dapat diterima melalui penyataan
seorang mukalaf yang adil; baik secara terang-terangan maupun tidak, baik
laki-laki maupun perempuan, baik orang yang meredeka maupun hamba sahaya,
sekalipun tidak mengucapkan: “Aku bersaksi bahwa aku telah melihat hilal”.
Dengan demikian, pernyataan seorang anak kecil yang mumayiz tidak bisa
diterima. Begitu juga pernyataan orang yang identitasnya belum diketahui, dan
meskipun dia berada di sekelompok orang banyak, yang selain dirinya tidak
seorangpun melihat hilal. Penolakan terhadap kesaksian dua orang tadi (mumayiz
dan orang yang identitasnya belum diketahui) dikarenakan penyataan keduanya
dipandang tidak tsiqat.
الصَومُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ الْفِطْرُيَومَ يَفْطِرُونَ
وَالاَضْحَى يَوْمَ يُضَحُوْنَ
Berbuka adalah pada
hari ketika orang-orang berbuka dan berkurban adalah pada hari ketika mereka
berkurban.
(HR. Tirmidzi [693] dan Ibnu Majah [1660] dinyatakan sanadnya jayyid oleh
Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah [hadits ke-224], Sahih wa Dha’if Sunan
At-Tirmidzi [697], dan Shahihul Jami’ [3869] dari Abu Hurairah
radhiyallahu’anhu).
Kewajiban
puasa tidak bisa ditetapkan dengan hisab atau ilmu perhitungan, meskipun
keduanya seringkali benar sebab, tidak ada sanad yang menceritakan bahwa syarak
berpegang kepada keduanya.
Penetapan
bulan-bulan yang lain, seperti Syawal dan yang lainnya, tidak bisa diterima,
kecuali dengan kesaksian dua orang yang adil. Keduanya harus mengucapkan
kesaksian, karena bulan-bulan selain Ramadan pada umumnya diketahui oleh orang
banyak. Adapun dalam penetapan Ramadan, cara di atas (yakni, kesaksian yang
harus diberikan minimal oleh dua orang yang adil) tidak digunakan. Alasannya,
karena puasa merupakan ibadah, sehingga kita harus berhati-hati. Kita khawatir,
waktu puasa telah tiba tetapi kita tidak berpuasa.
Jika
orang-orang (dengan berpegang kepada kesaksian dua orang yang adil) telah
berpuasa selama 30 hari, kemudian mereka tidak melihat hilal sebagai
pertanda puasa berakhir, hendaknya mereka mengakhiri puasa, baik
ketika langit cerah maupun mendung. Pendapat ini didasarkan atas hadits yang
diriwayatkan oleh Abdur-Rahman bin Zaid bin Khaththab di muka. Hadits itu
menyatakan bahwa Nabi SAW bersabda:
وَاِنْ شَهِدَشَهِدَانِ
فَصُومُواوَأَفْطِرُوا
Apabila dua
orang telah bersaksi, maka berpuasalah dan berbukalah.
Akan
tetapi, jika puasa mereka selama tiga puluh hari itu berdasarkan kesaksian satu
orang, mereka tidak boleh berbuka (mengakhiri puasa). Sebab, penetapan waktu
berbuka tidak boleh disandarkan kepada satu orang. Ketidakbolehan ini berlaku
pula jika dia menyaksikan hilal bulan Syawal.
Jika
mereka telah berpuasa selama dua puluh delapan hari kemudian melihat hilal,
mereka harus meng-qadha puasa satu hari. Jika mereka berpuasa karena langit
mendung atau tertutup kabut, mereka tidak boleh berbuka. Sebab pada dasarnya,
berpuasa merupakan tindakan ihtiyath. Dan, jika berpegang kepada hukum asal, yakni “bahwa bulan Ramadan
masih ada”, maka hal itu merupakan tindakan yang paling baik.
Jika
dua orang yang adil melihat hilal bulan Syawal, tetapi mereka tidak bersaksi di
hadapan kadi, maka orang yang mendengar kesaksian dan telah mengenal
kejujuran keduanya boleh berbuka. Masing-masing dari keduanya boleh berbuka
dengan berpegang pada pendapat keduanya; dengan catatan, setiap orang diantara
mereka telah sama-sama mengetahui kejujuran masing-masing. Pendapat ini
didasarkan atas hadits di atas. Yakni, “Jika dua orang telah bersaksi, maka
berpuasalah dan berbukalah.”
Jika
salah satu dari kedua orang yang adil tadi tidak mengenal kejujuran temannya,
dia tidak boleh berbuka karena mungkin saja temannya itu orang fasik. Namun,
jika kadi memutuskan dengan kesaksiannya sendiri, maka tidak ada
masalah.
Mengenai
dua orang saksi yang memberikan kesaksian di hadapan kadi bahwa mereka
telah melihat hilal buan Syawal, terdapat dua kemungkinan. Pertama, jika kadi menolakkesaksian
mereka karena tidak mengetahui identitas keduanya, maka orang yang telah
mengenal kejujuran keduanya boleh berbuka. Sebab dengan penolakannya bukan
berarti kesaksian keduanya tidak bisa diterima, melainkan hal itu terjadi
karena dia tidak mengetahui identitas keduanya. Tindakan hakim waktu itu sama
dengan orang yang sedang menanti bukti-bukti tentang keduanya. Jika setelah itu
keduanya terbukti merupakan orang yang adil, hukumnya jelas bisa ditetapkan. Kedua, jika hakim menolak kesaksian mereka
karena keduanya merupakan orang yang fasik, maka kesaksian keduanya tidak
membolehkan berbuka (mengakhiri puasa), baik bagi keduanya maupun bagi selain
mereka.
Jika
keberadaan bulan meragukan para tawanan atau orang yang dipenjara, orang yang
berada di dalam medan pertempuran, atau yang lainnya, mereka wajib berijtihad
dan berusaha mengetahui kedatangan bulan Ramadan. Sebab, dia berkemungkinan
untuk melaksanakan kewajibannya berdasarkan ijtihad. Dia mesti berpuasa seperti
halnya seseorang mesti berijtihad dalam menghadap kiblat (ketika arah kiblat
yang pasti tidak diketahuinya).
Jika
ijtihadnya sesuai dengan yang sebenarnya – yakni bulan Ramadan atau bulan
sesudahnya – puasa yang dilakukan berdasarkan hasil ijtihadnya sudah dipandang
cukup. Jika bulan tersebut ternyata kurang (berjumlah dua puluh sembilan hari),
sedangkan bulan Ramadan yang tidak didasarinya adalah sempurna (tiga puluh
hari), dia hanya wajib meng-qadha puasanya yang kurang. Karena, peng-qadhaan puasa harus sesuai dengan jumlah
puasa yang tertinggal atau kurang.
Jika
puasanya ternyata dilakukan pada bulan sebelum Ramadan, seperti Sya’ban, maka
puasa yang dilakukannya tidak dipandang cukup (sah), sebab dia melakukan ibadah
sebelum waktunya. Hal itu jelas tidak dipandang sah, seperti halnya shalat.
Jika puasa yang dilakukannya ternyata sebagiannya dilakukan pada bulan Ramadan
atau sesudahnya, puasa yang dipandang sah adalah puasa yang dilakukan pada
bulan Ramadan atau bulan sesudahnya. Sedangkan, puasa yang dilakukan pada bulan
sebelum Ramadan dipandang tidak sah.
Jika
seseorang yang tidak mengetahui datangnya bulan Ramadan secara pasti berpuasa
tanpa ijtihad terlebih dahulu, padahal dia mampu berijtihad, maka hukumnya sama
dengan orang yang tidak mengetahui kiblat. Puasanya tidak dipandang sah.
Kesimpulan:
Mazhab
Hanafi – untuk menetapkan hilal bulan Ramadan dan Syawal – menyaratkan agar
hilal harus dilihat oleh sekelompok orang banyak. Dengan catatan jika langit
dalam keadaan cerah. Namun jika langit dalam keadaan mendung atau yang lainnya,
untuk melihat hilal cukup dengan kesaksian seseorang yang adil.
Sedangkan
menurut Mazhab Maliki, hilal harus dilihat oleh dua orang yang adil atau lebih.
Bahkan, bagi orang yang tidak memiliki kecenderungan untuk memperhatikan hilal,
kesaksian seorang yang adil – menurut mereka sudah dipandang cukup.
Mazhab
Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa hilal cukup dilihat oleh seorang yang adil,
meskipun – menurut Mazhab Syafi’i – identitas orang yang adil itu belum
diketahui. Sebaliknya, menurut mazhab Hanbali, kesaksian orang yang
identitasnya belum diketahui tidak dipandang cukup. Hal ini, menurut mazhab
Hanbali, sama dengan keharusan terlihatnya hilal bulan Syawal (untuk menetapkan
hari raya) oleh dua orang yang adil.
Menurut Mazhab Hanafi dan Hanbali, kesaksian
perempuan bisa diterima.
Sebaliknya,
menurut mazhab Maliki dan Syafi’i, kesaksian perempuan tidak bisa diterima.
Mencari Hilal
Mazhab
Hanafi
berpendapat bahwa kaum muslim wajib mencari hilal pada hari ke-29 bulan Sya’ban dan hilal bulan
Syawal, untuk menyempurnakan bilangan puasa Ramadan. Jika mereka melihatnya,
mereka harus berpuasa. Tetapi, jika langit mendung, mereka hendaknya menyempurnakan
bulan Sya’ban 30 hari, kemudian
berpuasa pada hari sesudahnya, karena hukum asal dalam kasus ini adalah bahwa
bulan Sya’ban itu masih ada.
Suatu bulan tidak berpindah ke bulan yang lainnya, kecuali dengan bukti.
Sementara untuk kasus ini, bukti itu (hilal) belum ada.
Mazhab
Hambali
berpendapat bahwa mencari hilal sebagai upaya kehati-hatian (ihtiyath) untuk berpuasa dan menghindari
perbedaan pendapat (ikhtilaf), hukum sunah Aisyah berkata :
كَانَ النَّبِى
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَفَّظُ فِى شَعْبَانَ مَالَا يَتَحَفَّظُ
فِى غَيرِهِ ، ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ
Pada bulan Sya’ban, Nabi SAW lebih
berhati-hati dibandingkan dengan bulan yang lain. Kemudian beliau berpuasa karena
melihat (hilal bulan Ramadan.
Dalam hadits marfu’ yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
disebutkan sebagai berikut:
أحْصُوا هلَالَ شَعْبَا نَ لِرَمَضَا نَ
Hitunglah
hilal bulan Sya’ban untuk bulan Ramadan.
Seseorang yang melihat hilal disunahkan
bertakbir tiga kali dan mengucapkan:
اَللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِاْليُمْنَ
وَاْلإِيْمَانِ، واْلاَمْنِ وَاْلاَمَانِ رَبِّى وَرَبُّكَ اللهُ
Wahai Allah
yang telah menampakkan hilal kepada kami dengan keberkatan dan keimanan,
keamanan, serta kesesntosaan. Tuhanku dan Tuhanmu (hilal) adalah Allah.
Kemudian hendaknya ia mengucapkan
ucapan ini tiga kali dan disambung dengan ucapan berikutnya:
هِلَا لُ خَيرٍ و
رُشْدٍ
Hilal merupakan
kebaikan dan petunjuk.
مَنتُ
بِالَّذِى خَلَقَكَ
Aku beriman
kepada Zat yang telah mencptakanmu.
Lalu dia mengucapkan:
الحَمدُ لِلهِ
الّذِى ذَهَبَ بِشَهْرِ كَذَا وَ جَاءَ بِشَهْرِ كَذَا
Segala puji
bagi Allah yang telah menghilangkan bulan...dan membawa bulan....
Al-Atsram meriwayatkan sebuah hadits
dari Ibnu Umar. Dia berkata,
كَانَ النَّبِى صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا رَأَ الهِلَالَ،
اللهُ أَكْبَرُ، اَللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِاْلأَمْنِ
وَاْلإِيْمَانِ، وَالسَّلاَمَةِ وَاْلإِسْلاَمِ، وَالتَّوْفِيْقِ لِمَا تُحِبُّ
وَتَرْضَى، رَبِّى وَرَبُّكَ اللهُ
Jika Nabi SAW
melihat hilal, beliau berkata: “Allah Akbar, wahai Allah yang telah menampilkan
hilal kepada kami dengan keberkatan dan keimanan, keselamatan, keislaman, serta
petunjuk bagi yang Engkau senangi dan ridai. Tuhanku dan Tuhanmu (hilal) adalah
Allah.”
Menurut mazhab Hanafi, jika hilal
terlihat, kita dimakruhkan menunjuknya. Sebab, tindakan tersebut merupakan
tindakan jahiliyah.
C.
Perbedaan Matlak (Waktu Pemunculan
Hilal)
Ada
dua perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan fukaha mengenai wajib-tidaknya
puasa atas semua umat Islam – tanpa kecuali, di timur dan di barat – dalam satu
waktu. Perbedaan tersebut diukur dari apakah waktu terbit bulan itu sama
ataukah beda. Menurut Jumhur, puasa dikalangan umat Islam adalah satu.
Perbedaan terbit bulan (hilal) tidak dijadikan pegangan, sedangkan menurut
mazhab Syafi’i, permulaan puasa dan hari raya akan berbeda, bergantung kepada
terbit bulan yang terjadi di masing-masing tempat yang saling berjauhan.
Menurut pendapat yang sahih dalam mazhab ini, pernyataan sebagian mazhab Syafi’i
di bawah ini tidak dijadikan pegangan. Pernyataan tersebut ialah bahwa
perbedaan antara daerah yang dekat dan daerah yang jauh diukur sesuai dengan
jarak diperbolehkan mengqashar salat (89 km).
Perbedaan
pendapat ini masih saja terjadi, padahal kita mengetahui bahwa perbedaan waktu
terbit hilal tidak bisa diperselisihkan. Perbedaan waktu pemunculan hilal
adalah hal yang pasti terjadi antara beberapa daerah yang jaraknya saling
berjauhan. Hal ini sama dengan perbedaan waktu terbit matahari. Dan tidak diperselisihkan
bahwa imam berhak menentukan waktu puasa sesuai dengan wilayah kekuasaannya,
karena keputusan pemimpin dapat menghilangkan perbedaan pendapat. Para ulama
sepakat bahwa keputusan tersebut tidak berlaku secara bersamaan bagi
daerah-daerah yang sangat jauh, misalnya antara daerah Spanyol dan daerah Hijaz
atau antara daerah Indonesia dan daerah Maroko, Arab.
Mazhab
Hanafi.
Menurut pendapat yang jelas, mazhab ini berpendapat bahwa perbedaan waktu
terbit dan terlihatnya hilal pada siang hari sebelum matahari tergelincir dan
sesudahnya tidak perlu dipermasalahkan. Pendapat ini dikemukakkan oleh para
tokoh mazhab dan akhirnya dijadikan fatwa mazhab.
Mazhab
Maliki.
Mazhab ini berpendapat jika hilal terlihat, puasa menjadi wajib atas semua
daerah, baik daerah yang dekat maupun daerah yang jauh. Dalam hal ini, jarak
qashar (maksudnya, jarak yang membolehkan pengqasharan salat) tidak berlaku,
baik kemunculan hilal itu sama maupun berbeda.
Mazhab
Hambali.
Mazhab ini berpendapat bahwa jika hilal telah pasti terlihat di suatu daerah,
baik daerah itu dekat maupun jauh, semua orang wajib berpuasa. Orang yang tidak
melihat hilal itu harus mengikuti orang yang telah melihatnya.
Mazhab
Syafi’i.
Mereka berpendapat jika hilal terlihat di suatu daerah, kewajiban puasa hanya
daerah-daerah yang dekat. Tidak termasuk daerah-daerah yang jauh. Kewajiban
puasa bergantung kepada perbedaan waktu terbit hilal. Demikianlah menurut
pendapat yang paling sahih dalam mazhab ini. Perbedaan mutlak terjadi dalam
jarak yang kurang dari 24 farsakh.
****