Kamis, 10 Mei 2012

محبّة (Cinta)



A.      Perngertian Mahabbah
Mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam. Makna asal dari al-mahabbah adalah ‘bening’ dan ‘bersih’ karena bangsa Arab menyebut istilah ‘bening’ ini untuk gigi yang putih. Ada yang berpendapat bahwa kata ini berasal dari kata al-habab artinya air yang meluap setelah turun hujan lebat sehingga al-mahabbah diartikan luapan dan gejolak hati saat dirundung keinginan untuk bertemu dengan kekasih. Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat ruhaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan.
Pengertian mahabbah menurut al-Qusyairi: “al mahabbah adalah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakkan) Allah swt oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan seorang hamba yang mencintai Allah swt”.
Cinta merupakan sesuatu yang bermakna baik. Sedangkan apa yang buruk itu bukanlah cinta melainkan suatu akibat dari kesalahan dalam mencintai. Cinta memiliki batasan-batasan yang apabila batasan itu dilangkahi, maka bukan cinta lagi tetapi tertipu dalam mendefinisikan cinta.
Cinta merupakan perasaan yang timbul dari dalam diri makhluk yang memiliki nurani sebagai sebuah akibat dari ketertarikan terhadap sesuatu yang dianggap memiliki kelebihan di mata makhluk tersebut. Kita sebut saja diri kita sendiri. Kita dikaruniai Allah swt nafsu dan akal. Secara lahiriyah, keduanya memang berbeda. Namun, keduanya sangat berhubungan dalam proses bagaimana penciptaan rasa cinta terhadap diri manusia. Nafsu yang mengawali ketertarikan terhadap sesuatu, sedangkan akal yang menentukan apakah yang disukai tersebut benar atau tidak.
Allah swt memberikan manusia rasa cinta terhadap apa yang disukainya agar manusia tidak enggan untuk selalu bersyukur kepada-Nya. Inilah bukti kasih sayang Allah swt terhadap hambanya. Hal ini dibuktikan dalam firman-Nya:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٲتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلۡبَنِينَ وَٱلۡقَنَـٰطِيرِ ٱلۡمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلۡفِضَّةِ وَٱلۡخَيۡلِ ٱلۡمُسَوَّمَةِ وَٱلۡأَنۡعَـٰمِ وَٱلۡحَرۡثِ‌ۗ ذَٲلِكَ مَتَـٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا‌ۖ وَٱللَّهُ عِندَهُ ۥ حُسۡنُ ٱلۡمَـَٔابِ ۞
Artinya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang di ingini yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi allahlah tempat kembali yang baik (surga)”. (QS. Ali Imran: 14)
Seperti yang dikemukakan al-Sarraj kutipan Harun Nasution bahwa mahabbah memiliki tiga tingkatan, diantaranya:
a.           Mahabbah orang biasa yaitu selalu mengingat Allah dengan zikir, suka menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan.
b.           Mahabbah orang shidiq, yaitu cinta orang yang kenal pada Tuhan, kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya, ilmu-Nya, dan lain-lain.
c.          Mahabbah orang yang arif adalah cinta yang tahu betul kepada Tuhan.
Dari uraian tersebut disimpulkan bahwa mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati, sehingga sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk ke dalam diri yang dicintai.


B.       Pembagian Mahabbah
Secara garis besar, pembagian mahabbah terbagi atas dua, yaitu mahabbah Ilahiyah (cinta kepada Allah swt) dan mahabbah ilannas (cinta kepada sesama makhluk Allah). Adapun yang dimaksud dengan makhluk ciptaan Allah di sini terbagi lagi menjadi beberapa bagian, yaitu cinta kepada Rasul-Nya, cinta kepada orang tua, cinta kepada suami/ isteri, cinta kepada anak, cinta kepada saudara, cinta kepada tetangga, dan sebagainya. Tetapi di antara jenis-jenis cinta terhadap sesama manusia tersebut yang paling utama adalah cinta kepada Rasul-Nya, karena kecintaan setelah kepada Allah adalah kecintaan kepada Rasul.
1.         Mahabbah ilahiyah
Pendapat ulama, adapun cara merealisasikan rasa cinta kita terhadap Allah adalah  melalui ibadah. Ibadah kepada Allah harus dibangun di atas landasan cinta, dan hakikat cinta itu sendiri adalah ibadah. Sebab, bila kita beribadah tanpa cinta, ibadah kita ibarat jasad yang tidak memiliki ruh.
Para sufi berpandangan bahwa kalau mereka beribadah tujuannya untuk  mencapai surga maka seperti ibadahnya pegawai atau karyawan yang rajin bekerja supaya naik pangkat dan naik gajinya, sedangkan kalau ibadahnya agar terjauhkan dari neraka maka seperti ibadahnya seorang budak belian, mereka mau bekerja dengan baik karena takut dengan ancaman cambuk atau pemecatan yang dilakukan oleh majikan. Jadi ibadah yang baik dalam pandangan mereka adalah ibadah yang karena  cinta kepada Dzat Yang Maha Benar, tidak karena ingin surga atau takut neraka.
Dimensi ibadah sangat beragam. Mulai dari ibadah yang wajib sampai dengan ibadah yang mubah. Contohnya, ibadah yang kita lakukan sehari-hari seperti shalat. Shalat adalah bentuk pembuktian seberapa jauh kita mencintai siapa yang menciptakan kita. Di dalam shalat, baik itu gerakannya ataupun bacaannya selalu dimaksudkan untuk mengagung-agungkan nama Allah swt. Kita seolah-olah tak ada apa-apanya di hadapan Allah. Tetapi kita selalu diingatkan agar patuh, taat, dan cinta terhadap Allah.
Banyak orang yang shalatnya tidak khusyuk karena belum sepenuhnya mencintai Allah. Hal itu sudah terjadi pada zaman Rasulullah saw. Ketika itu Ali bin Abi Thalib yang terkenal akan kekhusyukannya dalam shalat harus mengakui sabda Rasulullah bahwa tidak ada seorang pun yang dapat melaksanakan shalat dengan khusyuk (muttafaq alaih). Banyak faktor lain yang merusak perasaan cinta kepada Allah melalui ibadah shalat ini. Di antaranya adalah perasaan yang muncul dari dalam diri seseorang sendiri ketika akan memulai takbiratul ihram. Mulai dari memikirkan tentang sesuatu yang dilakukan sebelum shalat hingga rencana yang akan dilakukan setelah shalat, padahal shalat belum dimulai. Lebih dari itu, bahkan ada yang membawa sifat-sifat buruk di dalam shalat, seperti kebencian terhadap sesuatu. Oleh karenanya, ahli tasawuf mengatakan bahwa sifat-sifat buruk yang dimiliki manusia, seperti kedengkian, iri hati, sombong, dan riya’ sebaiknya jangan dibawa ketika shalat. Karena hal itu akan membawa gangguan terhadap kekhusyukan shalat. Padahal, Allah swt telah menjanjikan di dalam al-Qur’an bagi orang-orang yang cinta kepada Allah melalui firman-Nya:
قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡ‌ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ۬ رَّحِيمٌ۬ ۞
Artinya: “Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31).

2.         Mahabbah ilannas
a.         Mencitai Rosulullah
Allah tidak akan mencintai seseorang yang lebih mencintai selain Allah. Allah berfirman  yang berbunyi:
قُلۡ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمۡ وَأَبۡنَآؤُڪُمۡ وَإِخۡوَٲنُكُمۡ وَأَزۡوَٲجُكُمۡ وَعَشِيرَتُكُمۡ وَأَمۡوَٲلٌ ٱقۡتَرَفۡتُمُوهَا وَتِجَـٰرَةٌ۬ تَخۡشَوۡنَ كَسَادَهَا وَمَسَـٰكِنُ تَرۡضَوۡنَهَآ أَحَبَّ إِلَيۡڪُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٍ۬ فِى سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّىٰ يَأۡتِىَ ٱللَّهُ بِأَمۡرِهِۦ‌ۗ وَٱللَّهُ لَا يَہۡدِى ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡفَـٰسِقِينَ ۞
Artinya: “Katakanlah: Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24).
Mencintai Allah berarti mencintai Rasulullah. Banyak sebuah hadits yang menceritakan betapa berlimpahnya kelebihan yang dikaruniakan Allah kepada Rasulullah. Di mata Allah, beliau adalah sosok kekasih yang dimuliakan oleh Allah melebihi makhluk ciptaan-Nya yang lain, namun beliau tidak pernah merasa besar kepala di hadapan sesama manusia lainnya.
              Rasulullah dijadikan contoh bagi manusia. Sebagaimana dalam firman Allah:
كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنڪَرِ وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ‌ۗ وَلَوۡ ءَامَنَ أَهۡلُ ٱلۡڪِتَـٰبِ لَكَانَ خَيۡرً۬ا لَّهُم‌ۚ مِّنۡهُمُ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَأَڪۡثَرُهُمُ ٱلۡفَـٰسِقُونَ۞
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Ali Imran: 110).
Suatu hari, sebagaimana yang diceritakan oleh Ibnu Ma’bad bin Abdillah dari kakeknya, bahwasanya kakeknya (Abdullah bin Hisyam) pernah bersama Rasulullah, dan ketika itu beliau memegang tangan Umar bin Khattab. Maka Umar pun berkata, “Demi Allah, ya Rasulullah. Sungguh, engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali diriku.” Maka, Rasulullah pun menanggapi, “Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya. Sampai aku engkau cintai melebihi dirimu sendiri.” Kemudian Umar pun berkata, “Sejak saat ini engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Maka, Rasulullah pun menyambut, “Ya begitu, Umar”. (HR Bukhari).
Banyak cara untuk mencintai Rasulullah, salah satunya yang paling utama adalah mengikuti segala sesuatu yang telah dicontohkan oleh Rasulullah, baik dari perkataan maupun perbuatannya. Seperti yang dilakukan oleh para sahabat Nabi, antara lain dengan cara:
1)   Ingin senantiasa dekat dengan nabi,
2)   Meniru hampir seluruh perilaku dan segala sesuatu yang dikenakan oleh Nabi,
3)   Membela kehormatan Nabi dan segala celaan para pencela,
4)   Melindungi dan membentengi Nabi dari segala yang dapat membahayakan dan mencederai tubuhnya, dan
5)   Melayani, memuliakan, dan mendahulukan Nabi di atas seluruh manusia.
b.         Mencintai Diri Sendiri dan Keluarga
Seseorang yang mencintai dirinya sendiri adalah orang yang berharap kebaikan ada pada dirinya. Jika seseorang mencintai dirinya dengan benar, dia memerhatikan akhirat, belajar ilmu, memerhatikan dan menunaikan hak-hak, bekerja, menjaga kesehatannya, menjaga diri dari kebinasaan, berbuat kebaikan, serta bersedekah, yaang ditekankan di sini bukan tindakan sedekahnya, melainkan faedah yang akan kita dapat setelah bersedekah.
Sesuai dengan sabda Rasulullah:
“Siapa yang sanggup melindungi dirinya dari api neraka, walaupun dengan (bersedekah) sebelah kurma, maka hendaklah dia lakukan dengan segera.” (HR Muslim)
Dengan demikian, barangsiapa mencintai dirinya sendiri dan takut terhadap siksa Allah, hendaknya dia juga bersedekah walaupun hanya dengan separuh biji kurma. Jika tak bisa, maka bertutur katalah yang baik. Akan tetapi masih banyak orang yang merusak dirinya sendiri baik itu dengan cara merokok, khamar, narkotika, bunuh diri, dan sebagainya. Hal tersebut sungguh bertentangan dengan yang dikatakan Allah:
وَأَنفِقُواْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا تُلۡقُواْ بِأَيۡدِيكُمۡ إِلَى ٱلتَّہۡلُكَةِ‌ۛ وَأَحۡسِنُوٓاْ‌ۛ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ۞
Artinya: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195).
Tentunya bukan hanya diri sendiri saja yang patut untuk dicintai, orang-orang yang terdekat dengan kita pun sepantasnya juga kita cintai. Apalagi orang-orang tersebut sangat berarti bagi kita. Mereka tidak lain adalah keluarga. Bahasan tentang ini terdapat pada ayat berikut:
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارً۬ا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡہَا مَلَـٰٓٮِٕكَةٌ غِلَاظٌ۬ شِدَادٌ۬ لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ ۞
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6).
Kebanyakan dari kita terkadang mencintai keluarga dengan cara yang salah. Kita biarkan keluarga kita melakukan seenaknya sehingga anak-anak kita menjadi anak-anak yang nakal dan jarang shalat. Kebiasaan mereka pun terbawa hingga dewasa. Kecintaan terhadap keluarga adalah mengharapkan dan memberikan kebaikan pada keluarga kita, bukan dengan membiarkannya menuju kebinasaan. Syariat telah mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya sang anak patuh dan taat kepada orang tua.
C.      Tokoh Yang Mengembangkan Mahabbah
Corak tasawuf Rabi’ah yang begitu menonjolkan cinta kepada Tuhan tanpa pamrih dan merupakan suatu corak tasawuf yang baru di zamannya. Pada saat itu, tasawuf lebih didominasi corak kehidupan zuhud (asketisme) yang sebelumnya dikembangkan oleh Hasan al-Bashri yang mendasarkan ajarannya pada rasa takut (khauf) kepada Allah. Corak tasawuf yang dikembangkan oleh Rabi’ah tersebut kelak membuatnya begitu dikenal dan menduduki posisi penting dalam dunia tasawuf.
Sedemikian tulusnya cinta kepada Allah yang dikembangkan oleh Rabi’ah, bisa dilihat, misalnya, dalam sebuah munajat yang ia panjatkan:
“Tuhanku, sekiranya aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu, biarlah diriku terbakar api jahanam. Dan sekiranya aku beribadah kepada-u karena mengharap surga-Mu, jauhkan aku darinya. Tapi, sekiranya aku beribadah kepada-Mu hanya semata cinta kepada-Mu, Tuhanku, janganlah Kauhalangi aku melihat keindahan-Mu yang abadi.”

Kebesaran dan tulusnya cinta Rabi’ah kepada Allah, maka seolah cintanya telah memenuhi seluruh kalbunya. Tak ada lagi tersisa ruang di hatinya untuk mencintai selain Allah, bahkan kepada Nabi Muhammad sekalipun. Pun, tak ada ruang lagi di kalbunya untuk membenci apapun, bahkan kepada setan sekalipun. Seluruh hatinya telah penuh dengan cinta kepada Tuhan semata. Hal ini juga Rabi’ah tunjukkan dengan memutuskan untuk tidak menikah sepanjang hidupnya, karena ia menganggap seluruh diri dan hidupnya hanya untuk Allah semata.

D.       Mahabbah dalam Al-Qur’an dan Hadits
Paham mahabbah sebagaimana disebutkan diatas mendapat tempat didalam Al-Qur’an:
يَوۡمَ تَجِدُ ڪُلُّ نَفۡسٍ۬ مَّا عَمِلَتۡ مِنۡ خَيۡرٍ۬ مُّحۡضَرً۬ا وَمَا عَمِلَتۡ مِن سُوٓءٍ۬ تَوَدُّ لَوۡ أَنَّ بَيۡنَهَا وَبَيۡنَهُ ۥۤ أَمَدَۢا بَعِيدً۬ا‌ۗ وَيُحَذِّرُڪُمُ ٱللَّهُ نَفۡسَهُ ۥ‌ۗ وَٱللَّهُ رَءُوفُۢ بِٱلۡعِبَادِ ۞
Artinya: Jika kamu cinta kepada Allah, maka turutlah aku dan Allah akan mencintaimu (QS. Ali Imran: 30).
Dan di dalam hadits juga dinyatakan sebagai berikut:
 وَلاَيَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ اِلَيَّ بِا لنَوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ وَمَنْ اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ لَهُ سَمْعًا وَبَصَرًا وَيَدًا ۝
“Hambaku senantiasa mendekatkan diri kepada ku dengan perbuatan-perbuatan hingga aku cinta padanya. Orang yang kucintai menjadi telinga , mata dan tanganku”.

Ayat dan hadits tersebut menjelaskaan bahwa pada saat terjadi mahabbah diri yang dicintai telah menyatu dengan yang mencintai yang digambarkan dalam telinga. Mata dan tangan Tuhan. Dan untuk mencapai keadaan tersebut dilakukan dengan amal ibadah yang  dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Puncak perjalanan keberagaman menurut Imam Al Ghozali adalah al mahabbah Al ghozali berkata “ cinta adalah inti keberagaman”. Ia adalah awal dan juga akhir dari perjalanan kita, walaupun ada maqom yang harus dilewati seorang sufi sebelum cinta , maqom itu hanya mengantar kearah cinta. Dan apabila ada maqom- maqom sesudah cinta, maqom itu hanyalah akibat dari cinta saja.
Allah menggambarkan jalan menuju kecintaan dengan menjalankan segala yang diwajibkan Allah. Kecintaan Allah tidak mungkin dapat dicapai tanpa berupaya mendekatkan diri kepada Allah. Kecintaan Allah tanpa tanpa menunaikan kewajiban-kewajiban adalah suatu kebohongan. Bahkan menunaikan kewajiban itu merupakan suatu syarat untuk berbaik sangka kepada Allah. Untuk menunaikan kewajiban tersebut .kita harus memperbanyak amalan-amalan sunnah, maka dengan itulah Allah akan mencintai kita.
Termasuk kecintaan kepada Allah adalah mengikuti Rasulullah,  dalam petunjuknya. kezuhudannya, dan meneladani dalam segala hal, serta berpaling dari keindahan dan kemilaunya dunia. Allah berfirman:
لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٌ۬ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأَخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرً۬ا ۞
Artinya:Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah teladan yang baik bagimu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS. Al Ahzab: 21).
***
Oleh: Nur Chasanah, M. Zhawawi, Siti Uswatun, David.A,  Falazuar DK.


DAFTAR PUSTAKA


Abdurrahim, Abu Musa. 2011. Kitab Cinta Perjalanan Cinta Menuju Surga. Jakarta: Gema Insani.
Ath-Tharsyah, Adnan. 2006. Yang Disenangi Nabi dan yang Tidak Disukai. Penerbit. Jakarta: Gema Insani.
Halim, Abdul. 2002. Tasawuf Di Dunia Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Ibn Musa Al Yahsubi, Qod'iyad. 2002. Keagungan Kekasih Allah, Muhammad SAW. Jakarta: Rajawali.
Irsyad, Kamran As’ad. 2008. Rahasia Menjadi Kekasih Allah (Buku ketiga Syekh Abdul Qadir Al-Jailani). Jogjakarta: Diva.
Muhyidin, Muhammad. 2009. Keajaiban Shodaqoh. Jogjakarta: Diva.
Nata, Abudin. 1997. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Tamrin, Dahlan 2010. Tasawuf Irfani: Tutup Nasut Buka Lahut. Malang: UIN-Maliki Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

hit counter
perfume