A.
Perngertian
Mahabbah
Mahabbah
berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang secara harfiah
berarti mencintai secara mendalam. Makna asal dari al-mahabbah adalah
‘bening’ dan ‘bersih’ karena bangsa Arab menyebut istilah ‘bening’ ini untuk
gigi yang putih. Ada yang berpendapat bahwa kata ini berasal dari kata al-habab
artinya air yang meluap setelah turun hujan lebat sehingga al-mahabbah
diartikan luapan dan gejolak hati saat dirundung keinginan untuk bertemu dengan
kekasih. Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu
usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat ruhaniah tertinggi
dengan tercapainya gambaran yang mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan.
Pengertian mahabbah menurut
al-Qusyairi: “al mahabbah adalah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia
yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakkan) Allah swt oleh hamba,
selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya
dan seorang hamba yang mencintai Allah swt”.
Cinta merupakan sesuatu yang bermakna
baik. Sedangkan apa yang buruk itu bukanlah cinta melainkan suatu akibat dari
kesalahan dalam mencintai. Cinta memiliki batasan-batasan yang apabila batasan
itu dilangkahi, maka bukan cinta lagi tetapi tertipu dalam mendefinisikan
cinta.
Cinta merupakan perasaan yang timbul dari
dalam diri makhluk yang memiliki nurani sebagai sebuah akibat dari ketertarikan
terhadap sesuatu yang dianggap memiliki kelebihan di mata makhluk tersebut.
Kita sebut saja diri kita sendiri. Kita dikaruniai Allah swt nafsu dan akal.
Secara lahiriyah, keduanya memang berbeda. Namun, keduanya sangat berhubungan
dalam proses bagaimana penciptaan rasa cinta terhadap diri manusia. Nafsu yang
mengawali ketertarikan terhadap sesuatu, sedangkan akal yang menentukan apakah
yang disukai tersebut benar atau tidak.
Allah swt memberikan manusia rasa cinta
terhadap apa yang disukainya agar manusia tidak enggan untuk selalu bersyukur
kepada-Nya. Inilah bukti kasih sayang Allah swt terhadap hambanya. Hal ini
dibuktikan dalam firman-Nya:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٲتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ
وَٱلۡبَنِينَ وَٱلۡقَنَـٰطِيرِ ٱلۡمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلۡفِضَّةِ
وَٱلۡخَيۡلِ ٱلۡمُسَوَّمَةِ وَٱلۡأَنۡعَـٰمِ وَٱلۡحَرۡثِۗ ذَٲلِكَ مَتَـٰعُ
ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَٱللَّهُ عِندَهُ ۥ حُسۡنُ ٱلۡمَـَٔابِ ۞
Artinya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia
kecintaan kepada apa-apa yang di ingini yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta
yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan
sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi allahlah tempat
kembali yang baik (surga)”. (QS. Ali Imran: 14)
Seperti yang dikemukakan al-Sarraj
kutipan Harun Nasution bahwa mahabbah memiliki tiga tingkatan,
diantaranya:
a.
Mahabbah orang biasa yaitu selalu mengingat Allah dengan zikir, suka menyebut
nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan.
b.
Mahabbah orang shidiq, yaitu cinta orang yang kenal pada Tuhan, kebesaran-Nya,
kekuasaan-Nya, ilmu-Nya, dan lain-lain.
c.
Mahabbah orang yang arif adalah cinta yang
tahu betul kepada Tuhan.
Dari uraian tersebut disimpulkan bahwa mahabbah
adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati, sehingga
sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk ke dalam diri yang dicintai.
B.
Pembagian
Mahabbah
Secara garis besar, pembagian
mahabbah terbagi atas dua, yaitu mahabbah Ilahiyah (cinta kepada
Allah swt) dan mahabbah ilannas (cinta kepada sesama makhluk Allah).
Adapun yang dimaksud dengan makhluk ciptaan Allah di sini terbagi lagi menjadi
beberapa bagian, yaitu cinta kepada Rasul-Nya, cinta kepada orang tua, cinta
kepada suami/ isteri, cinta kepada anak, cinta kepada saudara, cinta kepada
tetangga, dan sebagainya. Tetapi di antara jenis-jenis cinta terhadap sesama
manusia tersebut yang paling utama adalah cinta kepada Rasul-Nya, karena
kecintaan setelah kepada Allah adalah kecintaan kepada Rasul.
1.
Mahabbah
ilahiyah
Pendapat ulama, adapun cara
merealisasikan rasa cinta kita terhadap Allah adalah melalui ibadah. Ibadah kepada Allah harus
dibangun di atas landasan cinta, dan hakikat cinta itu sendiri adalah ibadah.
Sebab, bila kita beribadah tanpa cinta, ibadah kita ibarat jasad yang tidak
memiliki ruh.
Para sufi berpandangan bahwa kalau mereka
beribadah tujuannya untuk mencapai surga
maka seperti ibadahnya pegawai atau karyawan yang rajin bekerja supaya naik
pangkat dan naik gajinya, sedangkan kalau ibadahnya agar terjauhkan dari neraka
maka seperti ibadahnya seorang budak belian, mereka mau bekerja dengan baik
karena takut dengan ancaman cambuk atau pemecatan yang dilakukan oleh majikan. Jadi
ibadah yang baik dalam pandangan mereka adalah ibadah yang karena cinta kepada Dzat Yang Maha Benar, tidak
karena ingin surga atau takut neraka.
Dimensi ibadah sangat beragam. Mulai dari
ibadah yang wajib sampai dengan ibadah yang mubah. Contohnya, ibadah yang kita
lakukan sehari-hari seperti shalat. Shalat adalah bentuk pembuktian seberapa
jauh kita mencintai siapa yang menciptakan kita. Di dalam shalat, baik itu
gerakannya ataupun bacaannya selalu dimaksudkan untuk mengagung-agungkan nama
Allah swt. Kita seolah-olah tak ada apa-apanya di hadapan Allah. Tetapi kita
selalu diingatkan agar patuh, taat, dan cinta terhadap Allah.
Banyak orang yang shalatnya tidak khusyuk
karena belum sepenuhnya mencintai Allah. Hal itu sudah terjadi pada zaman
Rasulullah saw. Ketika itu Ali bin Abi Thalib yang terkenal akan kekhusyukannya
dalam shalat harus mengakui sabda Rasulullah bahwa tidak ada seorang pun yang
dapat melaksanakan shalat dengan khusyuk (muttafaq alaih). Banyak faktor lain
yang merusak perasaan cinta kepada Allah melalui ibadah shalat ini. Di
antaranya adalah perasaan yang muncul dari dalam diri seseorang sendiri ketika
akan memulai takbiratul ihram. Mulai dari memikirkan tentang sesuatu yang
dilakukan sebelum shalat hingga rencana yang akan dilakukan setelah shalat,
padahal shalat belum dimulai. Lebih dari itu, bahkan ada yang membawa
sifat-sifat buruk di dalam shalat, seperti kebencian terhadap sesuatu. Oleh
karenanya, ahli tasawuf mengatakan bahwa sifat-sifat buruk yang dimiliki manusia,
seperti kedengkian, iri hati, sombong, dan riya’ sebaiknya jangan dibawa ketika
shalat. Karena hal itu akan membawa gangguan terhadap kekhusyukan shalat.
Padahal, Allah swt telah menjanjikan di dalam al-Qur’an bagi orang-orang yang
cinta kepada Allah melalui firman-Nya:
قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى
يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ۬
رَّحِيمٌ۬ ۞
Artinya:
“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya
Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31).
2.
Mahabbah
ilannas
a.
Mencitai
Rosulullah
Allah tidak akan mencintai seseorang
yang lebih mencintai selain Allah. Allah berfirman yang berbunyi:
قُلۡ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمۡ وَأَبۡنَآؤُڪُمۡ وَإِخۡوَٲنُكُمۡ
وَأَزۡوَٲجُكُمۡ وَعَشِيرَتُكُمۡ وَأَمۡوَٲلٌ ٱقۡتَرَفۡتُمُوهَا وَتِجَـٰرَةٌ۬
تَخۡشَوۡنَ كَسَادَهَا وَمَسَـٰكِنُ تَرۡضَوۡنَهَآ أَحَبَّ
إِلَيۡڪُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٍ۬ فِى سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُواْ
حَتَّىٰ يَأۡتِىَ ٱللَّهُ بِأَمۡرِهِۦۗ وَٱللَّهُ لَا يَہۡدِى ٱلۡقَوۡمَ
ٱلۡفَـٰسِقِينَ ۞
Artinya: “Katakanlah: Jika bapak-bapak, anak-anak,
saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu
usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang
kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad
di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24).
Mencintai Allah berarti mencintai
Rasulullah. Banyak sebuah hadits yang menceritakan betapa berlimpahnya
kelebihan yang dikaruniakan Allah kepada Rasulullah. Di mata Allah, beliau
adalah sosok kekasih yang dimuliakan oleh Allah melebihi makhluk ciptaan-Nya yang
lain, namun beliau tidak pernah merasa besar kepala di hadapan sesama manusia
lainnya.
Rasulullah dijadikan
contoh bagi manusia. Sebagaimana dalam firman Allah:
كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ
بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنڪَرِ وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِۗ وَلَوۡ
ءَامَنَ أَهۡلُ ٱلۡڪِتَـٰبِ لَكَانَ خَيۡرً۬ا لَّهُمۚ مِّنۡهُمُ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ
وَأَڪۡثَرُهُمُ ٱلۡفَـٰسِقُونَ۞
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan
untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik
bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang fasik.” (QS. Ali Imran: 110).
Suatu hari, sebagaimana yang diceritakan
oleh Ibnu Ma’bad bin Abdillah dari kakeknya, bahwasanya kakeknya (Abdullah bin
Hisyam) pernah bersama Rasulullah, dan ketika itu beliau memegang tangan Umar
bin Khattab. Maka Umar pun berkata, “Demi Allah, ya Rasulullah. Sungguh, engkau
lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali diriku.” Maka, Rasulullah pun
menanggapi, “Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya. Sampai aku engkau cintai
melebihi dirimu sendiri.” Kemudian Umar pun berkata, “Sejak saat ini engkau
lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Maka, Rasulullah pun menyambut, “Ya
begitu, Umar”. (HR Bukhari).
Banyak cara untuk mencintai Rasulullah,
salah satunya yang paling utama adalah mengikuti segala sesuatu yang telah
dicontohkan oleh Rasulullah, baik dari perkataan maupun perbuatannya. Seperti
yang dilakukan oleh para sahabat Nabi, antara lain dengan cara:
1)
Ingin
senantiasa dekat dengan nabi,
2)
Meniru hampir
seluruh perilaku dan segala sesuatu yang dikenakan oleh Nabi,
3)
Membela
kehormatan Nabi dan segala celaan para pencela,
4)
Melindungi
dan membentengi Nabi dari segala yang dapat membahayakan dan mencederai
tubuhnya, dan
5)
Melayani,
memuliakan, dan mendahulukan Nabi di atas seluruh manusia.
b.
Mencintai
Diri Sendiri dan Keluarga
Seseorang yang mencintai dirinya sendiri
adalah orang yang berharap kebaikan ada pada dirinya. Jika seseorang mencintai
dirinya dengan benar, dia memerhatikan akhirat, belajar ilmu, memerhatikan dan
menunaikan hak-hak, bekerja, menjaga kesehatannya, menjaga diri dari
kebinasaan, berbuat kebaikan, serta bersedekah, yaang ditekankan di sini bukan
tindakan sedekahnya, melainkan faedah yang akan kita dapat setelah bersedekah.
Sesuai dengan sabda Rasulullah:
“Siapa yang sanggup melindungi dirinya dari api neraka,
walaupun dengan (bersedekah) sebelah kurma, maka hendaklah dia lakukan dengan
segera.” (HR Muslim)
Dengan demikian, barangsiapa mencintai
dirinya sendiri dan takut terhadap siksa Allah, hendaknya dia juga bersedekah
walaupun hanya dengan separuh biji kurma. Jika tak bisa, maka bertutur katalah
yang baik. Akan tetapi masih banyak orang yang merusak dirinya sendiri baik itu
dengan cara merokok, khamar, narkotika, bunuh diri, dan sebagainya. Hal
tersebut sungguh bertentangan dengan yang dikatakan Allah:
وَأَنفِقُواْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا تُلۡقُواْ
بِأَيۡدِيكُمۡ إِلَى ٱلتَّہۡلُكَةِۛ وَأَحۡسِنُوٓاْۛ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ
ٱلۡمُحۡسِنِينَ ۞
Artinya: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan
Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan
berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat
baik.” (QS. Al-Baqarah: 195).
Tentunya bukan hanya diri sendiri saja
yang patut untuk dicintai, orang-orang yang terdekat dengan kita pun
sepantasnya juga kita cintai. Apalagi orang-orang tersebut sangat berarti bagi
kita. Mereka tidak lain adalah keluarga. Bahasan tentang ini terdapat pada ayat
berikut:
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ
وَأَهۡلِيكُمۡ نَارً۬ا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡہَا
مَلَـٰٓٮِٕكَةٌ غِلَاظٌ۬ شِدَادٌ۬ لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ
وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ ۞
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai
Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6).
Kebanyakan dari kita terkadang mencintai
keluarga dengan cara yang salah. Kita biarkan keluarga kita melakukan seenaknya
sehingga anak-anak kita menjadi anak-anak yang nakal dan jarang shalat.
Kebiasaan mereka pun terbawa hingga dewasa. Kecintaan terhadap keluarga adalah
mengharapkan dan memberikan kebaikan pada keluarga kita, bukan dengan
membiarkannya menuju kebinasaan. Syariat telah mengajarkan kepada kita
bagaimana seharusnya sang anak patuh dan taat kepada orang tua.
C.
Tokoh Yang
Mengembangkan Mahabbah
Corak
tasawuf Rabi’ah yang begitu menonjolkan cinta kepada Tuhan tanpa pamrih dan
merupakan suatu corak tasawuf yang baru di zamannya. Pada saat itu, tasawuf
lebih didominasi corak kehidupan zuhud (asketisme) yang sebelumnya
dikembangkan oleh Hasan al-Bashri yang mendasarkan ajarannya pada rasa takut (khauf)
kepada Allah. Corak tasawuf yang dikembangkan oleh Rabi’ah tersebut kelak
membuatnya begitu dikenal dan menduduki posisi penting dalam dunia tasawuf.
Sedemikian
tulusnya cinta kepada Allah yang dikembangkan oleh Rabi’ah, bisa dilihat,
misalnya, dalam sebuah munajat yang ia panjatkan:
“Tuhanku,
sekiranya aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu, biarlah diriku terbakar
api jahanam. Dan sekiranya aku beribadah kepada-u karena mengharap surga-Mu,
jauhkan aku darinya. Tapi, sekiranya aku beribadah kepada-Mu hanya semata cinta
kepada-Mu, Tuhanku, janganlah Kauhalangi aku melihat keindahan-Mu yang abadi.”
Kebesaran dan tulusnya cinta Rabi’ah kepada Allah, maka seolah cintanya telah
memenuhi seluruh kalbunya. Tak ada lagi tersisa ruang di hatinya untuk
mencintai selain Allah, bahkan kepada Nabi Muhammad sekalipun. Pun, tak ada
ruang lagi di kalbunya untuk membenci apapun, bahkan kepada setan sekalipun.
Seluruh hatinya telah penuh dengan cinta kepada Tuhan semata. Hal ini juga
Rabi’ah tunjukkan dengan memutuskan untuk tidak menikah sepanjang hidupnya,
karena ia menganggap seluruh diri dan hidupnya hanya untuk Allah semata.
D.
Mahabbah dalam Al-Qur’an dan Hadits
Paham mahabbah sebagaimana
disebutkan diatas mendapat tempat didalam Al-Qur’an:
يَوۡمَ تَجِدُ ڪُلُّ نَفۡسٍ۬ مَّا عَمِلَتۡ مِنۡ خَيۡرٍ۬
مُّحۡضَرً۬ا وَمَا عَمِلَتۡ مِن سُوٓءٍ۬ تَوَدُّ لَوۡ أَنَّ بَيۡنَهَا
وَبَيۡنَهُ ۥۤ أَمَدَۢا بَعِيدً۬اۗ وَيُحَذِّرُڪُمُ ٱللَّهُ نَفۡسَهُ ۥۗ
وَٱللَّهُ رَءُوفُۢ بِٱلۡعِبَادِ ۞
Artinya: Jika kamu cinta kepada Allah, maka turutlah aku
dan Allah akan mencintaimu (QS. Ali Imran: 30).
Dan di
dalam hadits juga dinyatakan sebagai berikut:
وَلاَيَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ اِلَيَّ بِا لنَوَافِلِ حَتَّى
أُحِبَّهُ وَمَنْ اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ لَهُ سَمْعًا وَبَصَرًا وَيَدًا
“Hambaku senantiasa mendekatkan diri kepada ku dengan
perbuatan-perbuatan hingga aku cinta padanya. Orang yang kucintai menjadi
telinga , mata dan tanganku”.
Ayat dan hadits tersebut menjelaskaan
bahwa pada saat terjadi mahabbah diri yang dicintai telah menyatu dengan
yang mencintai yang digambarkan dalam telinga. Mata dan tangan Tuhan. Dan untuk
mencapai keadaan tersebut dilakukan dengan amal ibadah yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Puncak perjalanan keberagaman menurut
Imam Al Ghozali adalah al mahabbah Al ghozali berkata “ cinta adalah
inti keberagaman”.
Ia adalah awal dan juga akhir dari perjalanan kita, walaupun ada maqom
yang harus dilewati seorang sufi sebelum cinta , maqom itu hanya mengantar
kearah cinta. Dan apabila ada maqom- maqom sesudah cinta, maqom itu hanyalah
akibat dari cinta saja.
Allah menggambarkan jalan menuju
kecintaan dengan menjalankan segala yang diwajibkan Allah. Kecintaan Allah
tidak mungkin dapat dicapai tanpa berupaya mendekatkan diri kepada Allah.
Kecintaan Allah tanpa tanpa menunaikan kewajiban-kewajiban adalah suatu
kebohongan. Bahkan menunaikan kewajiban itu merupakan suatu syarat untuk
berbaik sangka kepada Allah. Untuk menunaikan kewajiban tersebut .kita harus
memperbanyak amalan-amalan sunnah, maka dengan itulah Allah akan mencintai
kita.
Termasuk kecintaan kepada Allah adalah
mengikuti Rasulullah, dalam petunjuknya.
kezuhudannya, dan meneladani dalam segala hal, serta berpaling dari keindahan
dan kemilaunya dunia. Allah berfirman:
لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٌ۬
لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأَخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرً۬ا
۞
Artinya: ”Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah teladan
yang baik bagimu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan hari kiamat dan dia
banyak menyebut Allah”. (QS. Al Ahzab: 21).
***
Oleh: Nur Chasanah, M. Zhawawi, Siti Uswatun, David.A, Falazuar DK.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahim, Abu Musa. 2011. Kitab Cinta Perjalanan Cinta Menuju Surga. Jakarta:
Gema Insani.
Ath-Tharsyah, Adnan. 2006. Yang Disenangi Nabi dan yang
Tidak Disukai. Penerbit. Jakarta: Gema Insani.
Halim,
Abdul. 2002. Tasawuf Di Dunia Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Ibn Musa Al Yahsubi, Qod'iyad. 2002. Keagungan Kekasih
Allah, Muhammad SAW. Jakarta: Rajawali.
Irsyad, Kamran As’ad. 2008. Rahasia
Menjadi Kekasih Allah (Buku ketiga Syekh Abdul Qadir Al-Jailani). Jogjakarta: Diva.
Muhyidin, Muhammad. 2009. Keajaiban
Shodaqoh. Jogjakarta: Diva.
Nata, Abudin. 1997. Akhlak Tasawuf.
Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.
Tamrin, Dahlan 2010. Tasawuf Irfani: Tutup Nasut Buka Lahut. Malang: UIN-Maliki Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar