Oleh: Falazuardika
A. Pengertian Fitrah
Dalam dimensi
pendidikan,
keutamaan dan keunggulan manusia dibanding dengan makhluk Allah lainnya, terangkum
dalam kata fitrah. Secara bahasa, kata fitrah berasal dari kata fathara
(فطر) yang berarti manjadikan. Kata tersebut berasal
dari akar kata al-fathr (الفاطر) yang berarti belahan atau
pecahan.
Sebagian
pendapat mengatakan bahwa fitrah adalah naluri beragama yang diberikan
Allah pada manusia sejak berada dalam alam rahim, sesuai dengan firman Allah
pada surat
Al-A’raf ayat 172:
وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِىٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ
ذُرِّيَّتَہُمۡ وَأَشۡہَدَهُمۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِہِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡۖ
قَالُواْ بَلَىٰۛ شَهِدۡنَآۛ أَن تَقُولُواْ يَوۡمَ ٱلۡقِيَـٰمَةِ إِنَّا ڪُنَّا
عَنۡ هَـٰذَا غَـٰفِلِينَ ۞
Artinya: “Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuban kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".
Hasan
Langgulung mengartikan fitrah tersebuut sebagai potensi-potensi yang dimiliki
manusia. Potensi-potensi
tersebut merupakan suatu keterpaduan yang tersimpul dalam al-Asma’ al-Husna
(sifat-sifat Allah).
Pendapat tersebut berarti bahwa apabila Allah memiliki sifat al-Bashar
(maha melihat) maka manusiapun juga memiliki potensi melihat. Namun potensi
tersebut tidak bisa disetarakan, karena manusia memiliki keterbatasan
(melihat), sedangkan Allah tidak memiliki keterbatasan, bisa melihat yang
tampak hingga yang tersembunyi sekalipun. Sedangkan manusia hanya bisa melihat
sejauh kemampuan inderanya. Begitu juga dengan potensi-potensi yang lain.
Untuk mengaktifkan potensi tersebut, maka Allah menjadikan alam dan seluruh
isinya - termasuk diri manusia sendiri - sebagai ayat-ayat Allah (ayat
kauniyah) yang luas untuk dibaca dan dianalisa maknanya Dengan pemaknaan
tersebut, manusia mampu menempatkan dirinya pada posisi yang hakiki, baik
secara individual-vertikan sebagai ‘abd Allah maupun individual
–horizontal sebagai kholifah fi al-ardh. Untuk mengaktualkan potensi-potensi
tersebut, Allah telah melengkapi pada diri manusia dengan roh-Nya berbagai
alat, baik jasmani maupun rohani, yang menunjang perkembangan potensi-potensi
yang dimilikinya secara maksimal. Potensi-potensi
tersebut diberikan pada manusia agar manusia bisa hidup dengan harmonis dan
dapat mempertanggungjawabkan atas segala potensi-potensi yang telah mereka
gunakan, sebagaimana firman Allah :
وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ
وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَـٰٓٮِٕكَ كَانَ عَنۡهُ مَسۡـُٔولاً۬۞
Artinya:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan di
minta pertanggung jawabnya“.(QS. Al-Isra’: 36).
Oleh karena
itu, Allah menganugerahkan potensi-potensi yang dapat membawa mereka menjadi kholifah fi al-ardh yang baik dan
bertanggung jawab, yang juga dapat memakmurkannya.
B. Hubungan Fitrah dan Pendidikan Islam
Allah telah
memberikan fitrah pada manusia saat manusia belum terlahir di alam dunia ini,
sehinnga manusia membawa fitrahnya saat ia dilahirkan di dunia. Fitrah yang
dibawanya bersamaan dengan terlahirnya manusia tersebut belum sepenuhnya
teraktualisasi, hingga alam sekitar mempengaruhi fitrah manusia tersebut.
Faktor yang
pertama kali berpengaruh pada manusia yang baru terlahir ke dunia adalah faktor lingkungan, terutama lingkungan
keluarga. Hal ini sesuai dengan hadits:
كلّ مولود يولد على الفترة ، فأبواه يهود
نه أو ينصرانه أو يمجسانه (رواه الأسود بن شريع)
Artinya:
“setiap anak (manusia) itu terlahir dalam fitrahnya. Kedua orangtuanya lah yang
akan mewarnai (anak) nya, apakah menjadikannya seorang Yahudi, Nasrani, atau
Majusi". (HR. Aswad bin Sari’).
Berdasarkan
hadits di atas bisa kita katakan bahwa yang namanya fitrah sebenarnya baik,
tapi ada pengaruh setelah ia trelahir ke dunia, hinga fitrah tersebut
tergantung pada baik buruknya pengaruh dari orang tuanya..
Ada pula segolongan ahli fikir berpendapat berpendapat bahwa kanak-kanak dilahirkan
seperti kertas putih, atau tabula rasa, tak punya potensi-potensi, ia akan
berkembang dengan pengaruh alam sekitar, termasuk ibu bapak, guru-guru,
institusi pendidikan dan lain-lain, alam sekitarnyalah yang berkuasa
membentuknya sekehendaknya, adapun si anak tidak punya daya apa-apa.
Antara hadits
dan pendapat di atas sama-sama berpendapat bahwa lingkungan dapat mempengaruhi
fitrah manusia. Pertama anak mendapat pengaruh dari keluarganya (Orang tua),
lalu teman sebayanya, lingkungan masyarakat, lalu ia akan mendapat pengaruh
juga dari lingkungan pendidikannya.
Bukan hanya fitrah beragama saja yang diberikan pada manusia. Dalam konteks
ini, Abdurahman Saleh Abdullah mengartikan kata fitrah sebagai bentuk potensi
yang diberika Allah padanya disaat penciptaan manusia di alam rahim. Potensi-potensi
yang dimaksud, di samping
agama, menurut
Ibnu Taimiyah pada diri manusia juga memiliki -- setidak nya -- tiga potensi
(fitrah), yaitu:
1.
Daya Intelektual (quwwat al-‘aql), yaitu potensi
dasar yang memungkinkan manusia dapat membedakan nilai baik dan buruk. Dengan
daya intelektualnya, manusia dapat mengetahui dan meng-Esakan Tuhannya.
2.
Daya ofensif (quwwat as-syahwat), yaitu potensi
dasar yang dimiliki manusia yang mampu menginduksi obyek-obyek yang
menyenangkan dan bermanfaat bagi kehidupannya, baik secara jasmaniah dan
rohaniah secara serasi dan seimbang.
3.
Daya defensif (quwwat al-ghadhab), yaitu potensi
dasar yang didapat menghindarkan manusia dari segala perbuatan yang
membahayakan dirinya.
Daya Intelektual (al-‘aql) memiliki posisi paling penting di antara
ketiga posisi tersebut di atas, karena akal menjadi pemegang kendali atas kedua
potensi yang lain.
Inilah fungsi
pendidikan Islam bagi manusia. Apabila manusia tidak terdidik, maka ia akan salah
arah dalam mengendalikan fitrah atau potensi-potensi yang dimilikinya. Karena
ia belum mengetahuimana yang benar dan yang salah. Namun setelah manusia
tersebut mendapatkan pendidikan, terutama Pendidikan Islam,
maka ia tidak akan keliru dalam memegang kendali utamanya (quwwat al-‘aql),
sehingga ia juga dapat menentukan arah potensi-potensi yang lain menuju arah
yang baik dan manusia tersebut dapat benar-benar menjadi khalifah fi al-ardh
yang dapat mengembangkan dan menjadikan bumi ini lebih baik.
Arifin, M. 1993. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Langgulung, Hasan. 1985. Pendidikan dan Peradaban Islam Suatu Analisa Sosio
Psikologi, Jakarta: PT Maha Grafindo.
Nizar, Syamsul. 2001. Pengantar
Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Ramayulis. 2011. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar